Assalamualaikum….Bismillahi Rahmaani Rahiim
Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk.
Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota
Kufah masih terasa.
Diserambi mesjid
Kufah, seorang pemuda berdiri tegap
menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh
ketempat sujud. Bibirnya bergetar melantunkan ayat2 suci
Al-Quran. Hati dan seluruh gelagak jiwanya menyatu dengan Tuhan, pencipta alam
semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena
kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda
paling tampan dan paling mencintai mesjid Kufah pada masanya. Sebahagian
waktunya dihabiskan didalam mesjid. Saat itu mesjid menjadi tempat pusat
peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.
Sementara itu, dipinggiran kota tampak sebuah rumah mewah
bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkelip-kelip
bagai bintang. Rumah itu milik saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang
luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita
sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan
terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu.
Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan
syair2 cinta.
Diruang tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum
mendengar syair yang didendangkan oleh putrinya. Mereka berdua sepakat jika
sudah saatnya putri mereka untuk
menikah, dan sang ayah berencana menjodohkan putrinya dengan anak dari teman
lamanya yang tadi siang ditemuinya di Pasar, dia adalah anak Abu Yasir.
Saat di Pasar mereka sudah sepakat untuk menjodohkan putra
putri mereka, Yasir dengan Afirah. Abu Yasir berharap putra satu2nya itu akan
berubah setelah menikah nanti, apalagi Afirah adalah anak yang baik budi
pekertinya.
Sementara ditempat lain seorang pemuda kaya raya bersama
teman2nya mengadakan pesta, dengan mengundang seorang penari yang melenggokkan
tubuhnya mengikuti iringan musiknya.
Kemudian seorang pemuda yang bernama Yasir menghampiri
penari itu. Sang penari mengulurkan tangan dan menyambutnya. Keduanya lalu
menari bersama. Keduanya benar2
hanyut dalam kelenaan. Dengan
gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keduanya terus
menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking. Aroma
arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.
Keesokan harinya.
Usai sholat dhuha, Zahid meninggalkan mesjid menuju
kepinggiran kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan
hati terus berzikir membaca ayat2 suci
Al-Quran. Dia sempatkan kepasar sebentar membeli anggur dan apel buat
saudaranya yang sakit.
Zahid melewati kebun korma yang luas. Saudaranya pernah
bercerita bahwa pemilik kebun itu adalah saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus
melangkah menapaki jalan membelah kebun
korma itu. Tiba2 dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan
titik hitam itu semaikn mendekat dan membesar.
Matanya menangkap dikejauhan sana perlahan bayangan itu
menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup2 telinganya menangkap suara,
“Tolong! Tolong!”
Suara itu dating dari arah penunggang kuda yang ada jauh
didepannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas.
“Tolong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan.
Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang
perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“tolong! Tolong hentikan kuda ini! Ia tidak bisa
dikendalikan!”
Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat.
Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter didepannya.
Cepat2 ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap ditengah
jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kananya dan
berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”
Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu
meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting
jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki. Kau
tidak apa-apa?”
Perempuan itu mengaduh. Mukanya tertutup cadar hitam. Dua matanya bening menatap Zahid.
Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku
sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi wajah
tampan Zahid. Menyadari hal itu Zahid menundukan pandangannya
ke tanah. Perempuan itu perlahan
bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah
wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa
nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah
putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin
semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak
yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang gadis terpesona oleh ketampanan Zahid,
sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan
pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat2 menundukkan kepalanya.
“Innalillah. Astaghfirullah,” gemuruh hatinya.
“Namaku Zahid, aku
dari mesjid mau mengunjungi saudaraku
yang sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang
hidupnya Cuma didalam mesjid?”
“Tak taulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil
membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”
Tiba2 gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang
saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang
ada didepannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik
ayahku. Dan rumahku ada diselatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang
kerumahku. Ayah pasti akan
senang dengan kehadiranmu. Dan
sebagai ucapan terima
kasih aku mau
menghadiahkan ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan
hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa2! Kalau tidak tuan terima, aku tidak
akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu
minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua
kakinya melanjutkan perjalanan.
Saat malam datang. Afirah
termenung r dikamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya
bingung. Terlintas semua kejadian tadi pagi. Pertemuan dirinya dengan Zahid.
Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan
sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya cinta? Terasa hangat
mengaliri saraf. Juga terasa sejuk didalam hati. Ya Rabbi, tak kupungkiri aku
jatuh hati pada hambamu bernama Zahid. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”
Sementara itu
didalam mesjid tampak Zahid menangis disebelah kanan mimbar. Ia menangisi
hilangnya Konsentrasi/kekhusyukan hati
dalam sholat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak bertemu Afirah ia
tidak mampu mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah melintas saat
shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba
berulang kali menepis jauh2 aura pesona Afirah dengan melakukan shalat
sekhusyuk2nya namun usaha itu sia2.
“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha
Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun
Engkau juga tahu hatiku tak mapu mengusir pesona kecantikan makhluk yang Engkau
ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan
suara Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun2 cinta yang
menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis
takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup dan matiku untuk-Mu.” Isak
Zahid.
Pagi harinya, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah
pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk
melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah.
Mereka sangat s enang dengan
kunjungan Zahid yang sudah
terkenal ketakwaannya diseantero penjuru kota. Afirah keluar
sekejab untuk membawa minuman lalu kembali kedalam. Dari balik tirai ia
mendengarkan pembicaran mereka. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya adalah
untuk melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara
Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat
lamanya. Zahid tertunduk pasrah akan jawaban yang akan diterimanya.
“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah
sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya beberapa hari yang lalu, dan aku
telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia sudah mengerti
dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan
hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis
keadaannya. Jatungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh
seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.
Zahid kembali ke mesjid dengan kesedihan tak terkira.
Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mapu mengusir rasa cintanya pada
Afirah. Apa yang ia dengar tadi membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit.
Suhu tubuhnya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis
seorang jamaah membawa dan merawatnya dirumahnya. Ia sering mengigau. Dari
bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan…. Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar
keseantero kota Kufah. Angin meniupkan
kabar ini ketelinga Afirah. Rasa cinta
Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
“Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa
cinta itu yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu
menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias kuingkari, aku mengalami hal
sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.”
“Zahid,Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk
mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan dating ketempatmu dan kita
memadu cinta. Atau, kau datanglah kekamarku, akan kutunjukkan jalan dan
waktunya”.
Wassalam,
Afirah
Surat itu ia titipkan pada pembantu setianya yang bisa
dipercayanya. Ia berpesan agar surat itu diterima sendiri oleh Zahid.
Hari itu juga Zahid menerimanya. Dengan hati berbunga2 Zahid
menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isi surat itu tubuhnya bergetar
hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak2nya. Dengan berlinang
air mata ia menulis balasan untuk Afirah:
Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini
tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku
menginginkan cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza
Wajalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan cinta
yang menyeret kepdaa kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tidak dapat kuterima. Aku ingin
mengobati kehausan jiwaku ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air
timah dari neraka, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhimi!”
(sesungguhnya aku takut akan siksa hari besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az
Zumar : 13).
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan
keluar. Tak ada yang bias aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak
mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya:
“Wanita2 yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak
baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik
pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh)
itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki
yang mulia (yaitu surga),”
Karena aku menginginkan bidadari yang suci dan baik maka aku
akan berusaha kesucian dan kebaikan, selanjutnya Allah lah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi
pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam
Zahid
Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis, ia
menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang
berharga, yaitu Hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda
saleh bernama Zahid ini telah mengubah semua jalan hidupnya.
Sejak saat itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang
glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk
akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat ia bersujud,
dan menangis ditengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt. Siang ia
puasa, malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya.
Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung
dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan
Zahid dimesjid Kufah. Keduanya benar2 larut dalam samudra cinta Allah Swt.
Allah Maha Rahman dan Rahim. Beberapa
bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:
Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah. Dia lah Tuhan yang memberi jalan
keluar setiap hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali
pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang
melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
Secepatnya.
Wassalam,
Afirah
Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab mesjid Kufah.
Bunga2 cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan
hamdalah.
Wa alaikum salaam Warahmatullah Wabarokatuh..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar