Selasa, 31 Januari 2012

Pemuda Yang Sholeh



Assalamualaikum….Bismillahi Rahmaani Rahiim

Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin  yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Diserambi  mesjid Kufah, seorang pemuda berdiri  tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh  ketempat  sujud.  Bibirnya bergetar melantunkan ayat2 suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelagak jiwanya menyatu dengan Tuhan, pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda paling tampan dan paling mencintai mesjid Kufah pada masanya. Sebahagian waktunya dihabiskan didalam mesjid. Saat itu mesjid menjadi tempat pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Sementara itu, dipinggiran kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkelip-kelip bagai bintang. Rumah itu milik saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair2 cinta.

Diruang tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan oleh putrinya. Mereka berdua sepakat jika sudah saatnya putri  mereka untuk menikah, dan sang ayah berencana menjodohkan putrinya dengan anak dari teman lamanya yang tadi siang ditemuinya di Pasar, dia adalah anak Abu Yasir.
Saat di Pasar mereka sudah sepakat untuk menjodohkan putra putri mereka, Yasir dengan Afirah. Abu Yasir berharap putra satu2nya itu akan berubah setelah menikah nanti, apalagi Afirah adalah anak yang baik budi pekertinya.

Sementara ditempat lain seorang pemuda kaya raya bersama teman2nya mengadakan pesta, dengan mengundang seorang penari yang melenggokkan tubuhnya mengikuti iringan musiknya.
Kemudian seorang pemuda yang bernama Yasir menghampiri penari itu. Sang penari mengulurkan tangan dan menyambutnya. Keduanya lalu menari  bersama. Keduanya  benar2  hanyut  dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

Keesokan harinya.
Usai sholat dhuha, Zahid meninggalkan mesjid menuju kepinggiran kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca  ayat2 suci Al-Quran. Dia sempatkan kepasar sebentar membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid melewati kebun korma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa pemilik kebun itu adalah saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki   jalan membelah kebun korma itu. Tiba2 dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semaikn mendekat dan membesar.
Matanya menangkap dikejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup2 telinganya menangkap suara, “Tolong! Tolong!”
Suara itu dating dari arah penunggang kuda yang ada jauh didepannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas. “Tolong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“tolong! Tolong hentikan kuda ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter didepannya. Cepat2 ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap ditengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kananya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki.  Kau tidak apa-apa?”
Perempuan  itu  mengaduh. Mukanya  tertutup cadar  hitam. Dua matanya bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi  wajah  tampan Zahid. Menyadari  hal  itu Zahid menundukan  pandangannya  ke tanah. Perempuan  itu  perlahan  bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang  gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat2 menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astaghfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku  dari  mesjid  mau mengunjungi  saudaraku  yang  sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma didalam mesjid?”
“Tak taulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba2 gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada didepannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada diselatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang kerumahku.  Ayah pasti  akan  senang  dengan kehadiranmu. Dan sebagai  ucapan  terima  kasih  aku  mau  menghadiahkan  ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa2! Kalau tidak tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

Saat malam datang. Afirah  termenung r dikamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Terlintas semua kejadian tadi pagi. Pertemuan dirinya dengan Zahid. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya cinta? Terasa hangat mengaliri saraf. Juga terasa sejuk didalam hati. Ya Rabbi, tak kupungkiri aku jatuh hati pada hambamu bernama Zahid. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Sementara itu  didalam  mesjid  tampak Zahid menangis  disebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya Konsentrasi/kekhusyukan hati  dalam sholat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak bertemu Afirah ia tidak mampu mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah melintas saat shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh2 aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyuk2nya namun usaha itu sia2.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu hatiku tak mapu mengusir pesona kecantikan makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suara Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun2 cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup dan matiku untuk-Mu.” Isak Zahid.

Pagi harinya, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka  sangat s enang  dengan  kunjungan Zahid  yang sudah terkenal  ketakwaannya  diseantero penjuru kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali kedalam. Dari balik tirai ia mendengarkan pembicaran mereka. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya adalah untuk melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid tertunduk pasrah akan jawaban yang akan diterimanya.

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jatungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

Zahid kembali ke mesjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mapu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar tadi membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu tubuhnya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya dirumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan…. Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar keseantero kota Kufah. Angin   meniupkan kabar ini ketelinga Afirah.  Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
“Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itu yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias kuingkari, aku mengalami hal sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.”
“Zahid,Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan dating ketempatmu dan kita memadu cinta. Atau, kau datanglah kekamarku, akan kutunjukkan jalan dan waktunya”.
Wassalam,
 Afirah

Surat itu ia titipkan pada pembantu setianya yang bisa dipercayanya. Ia berpesan agar surat itu diterima sendiri oleh Zahid.
Hari itu juga Zahid menerimanya. Dengan hati berbunga2 Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isi surat itu tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak2nya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah:

Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wajalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan cinta yang menyeret kepdaa kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tidak dapat kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwaku ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhimi!” (sesungguhnya aku takut akan siksa hari besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13).
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bias aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya:
“Wanita2 yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga),”
Karena aku menginginkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan, selanjutnya Allah lah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam
Zahid

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis, ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang berharga, yaitu Hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid ini telah mengubah semua jalan hidupnya.
Sejak saat itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat ia bersujud, dan menangis ditengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt. Siang ia puasa, malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya.
Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Zahid dimesjid Kufah. Keduanya benar2 larut dalam samudra cinta Allah Swt. Allah Maha Rahman dan Rahim.  Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah. Dia lah Tuhan yang memberi jalan keluar setiap hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab mesjid Kufah. Bunga2 cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Wa alaikum salaam Warahmatullah Wabarokatuh..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar