T A K D I R
Assalamualaikum..Bismillahi Rahmaani
Rahiim
Bismillahi
Rahmaani Rahiim
Dunia ini sempit. Sangat sempit.
Teramat sempit sampai terasa nyaris menghimpit tubuhku.
Aku memandangnya. Dia memandangku. Kukembangkan telapak
tanganku. Dia juga. Kutempelkan telapak tangan kananku pada telapak tangan
kirinya, tapi tak tersentuh. Kami dibatasi sebuah kaca. Aku dapat melihatnya
dengan jelas, namun tidak lagi dapat menyentuhnya. Dia bukan milikku lagi. Saat
ini dan selamanya.
Aku mencintai Artha. Aku sudah
menyukainya sejak awal kami bertemu pada ujian pendafaran masuk kampus sekitar
tujuh tahun yang lalu. Artha tidak terlalu tampan. Tapi juga tidak jelek. Dia
memiliki sepasang bola mata hitam kecoklatan, sepasang alis mata yang tidak
terlalu tebal, hidung yang tidak dapat dikatakan mancung, dan bibir tipis yang
kemerahan. Wajahnya yang oval dibingkai dengan rahang yang kokoh, dengan lesung
pipit di pipi kirinya jika dia tersenyum. Tubuhnya tinggi dengan pundak yang
lebar.
Aku sangat, sangat, sangat terpesona padanya. Aku masih
ingat dengan jelas ketika pada ujian pendaftaran masuk itu, setengah jam
sebelum ujian berakhir aku baru sadar kalau jawaban yang kulingkari dengan
pensil 2B pada kertas jawabanku itu terlompat satu. Ada lima puluh soal yang
diujikan. Dan ketika aku sampai pada nomor terakhir di kertas soal, aku baru
menyadari kalau pada kertas jawabanku, aku baru sampai pada nomor empat puluh
sembilan. Setelah kuperiksa ulang, rupanya aku melewatkan soal nomor sembilan,
dan menuliskan jawaban nomor sepuluh di soal menjadi nomor sembilan di kertas
jawabanku, dan seterusnya.
Kurogoh-rogoh isi tasku mencari sebuah penghapus dan
tidak menemukan benda yang kucari di sana. Itu membuatku panik. Aku duduk
dengan gelisah sementara dahiku mulai berkeringat dingin. Aku tidak mau kalau
aku sampai tidak lulus ujian masuk karena hal konyol seperti ini. Kulirik kanan
kiriku dengan bingung. Aku sudah hampir menangis. Kemudian tiba-tiba dari
belakang, seseorang menyentuh pundakku. “Mau pinjam?” tanyanya. Kulirik mata
pengawas yang tertuju pada kami. Lalu secepat kilat aku mengangguk seadanya dan
mengambil penghapus itu dari tangannya. Itulah pertama kalinya aku
memperhatikannya. Oh, bukan memperhatikan. Tepatnya, aku jatuh cinta padanya.
Tuhan sungguh baik padaku.
Pertemuan kami tidak berakhir sampai
di sana. Dia membiarkan kami satu kelas, satu organisasi, dan yang terpenting,
memiliki satu perasaan yang sama. Empat bulan setelah awal pertemuan kami,
Artha memintaku menjadi pacarnya dan membuatku hampir pingsan karena terlalu
bahagia.
Artha pacar pertamaku. Dan aku berharap dia juga akan
menjadi yang terakhir dalam hidupku. Sampai saat itu tiba. Saat hubunganku
dengan Artha yang nyaris empat tahun berakhir begitu saja ketika dia memutuskan
untuk pindah ke Jepang dan melanjutkan studinya di sana. Tidak pernah ada lagi
kabar yang kudengar dari Artha semenjak kepergiannya. Dia seolah hilang ditelan
bumi. Meninggalkanku sendirian digulung kesedihan.
Dua tahun kemudian aku bertemu Arga di perusahaan yang
bergerak di bidang pertambangan batu bara tempatku melamar pekerjaan. Pertama
kali melihatnya, aku seperti menemukan getaran yang telah lama hilang di
hatiku. Matanya sama jernih dengan mata Artha. Senyumnya sama lembut dengan
senyum Artha. Cintanya sama tulus dengan cinta Artha yang dulu pernah singgah
dalam hidupku. Kubiarkan Arga mencuri tempat Artha dan menambal lubang yang
menganga lebar di sana. Juga membiarkan Arga melingkarkan cincin di jari manis
kananku malam ini.
Aku menikah dengan Arga.
Yang tidak pernah kusangka adalah aku akan melihat Artha
lagi. Setidaknya aku tidak pernah mengira akan bertemu lagi dengan Artha pada
malam ini. Malam pernikahanku. Malam di mana aku dengan sah menjadi milik orang
lain. Dunia ini sempit. Sangat sempit. Teramat sempit sampai terasa nyaris
menghimpit tubuhku. Ketika pandangan mata kami bertabrakan, aku dapat membaca
kesakitan maha dahsyat yang menggemuruh di kedua bola matanya. Kesakitan yang
aku tahu dia tidak berpura-pura. Sepasang mata Artha yang masih sama dengan
tiga tahun yang lalu sebelum dia meninggalkanku. Aku hampir menjerit. Hampir
berteriak dan memeluk laki-laki yang kini sedang bergerak mendekat dan
menyalamiku. “Selamat ya.” katanya lirih. Suara yang setengah mati kuimpikan
selama tiga tahun ini.
Tapi kekagetanku tidak berhenti sampai di sana.
Kata-kata berikutnya yang meluncur dari bibir Artha, membuat ulu hatiku begitu
nyeri seakan dihantam dengan palu godam.
“Kamu akan menjadi kakak iparku yang paling cantik mulai
malam ini.” ucapnya dengan menguntai seulas senyum pahit. Mata Artha yang biasa
selalu tersenyum lembut, malam ini terlihat basah berkaca-kaca.
Kutatap punggung Artha yang bergerak menjauh, kemudian
dengan segera kualihkan pandanganku dan menatap Arga dengan pandangan tak
percaya.
“Kamu punya adik?” tanyaku menahan sakit yang membuat
mataku mulai terasa panas tergenang air mata. “Kenapa kamu tidak pernah cerita
padaku?”
“Artha maksudmu?” Arga balas bertanya padaku dengan
lembut. “Dia adik satu ayah lain ibu denganku. Aku hampir tidak pernah bertemu
dengannya. Lagipula dia baru saja pulang dari Jepang malam ini. Ayah yang
memintanya untuk datang ke pestaku dan menjemputnya dari bandara langsung
kemari. Untung Ayah tidak terlambat datang ke pesta kita.”
Arga tertawa kecil. Tapi aku sudah tidak bisa ikut
tertawa lagi. Jawaban Arga membuatku terhenyak. Kugigit bibirku kuat-kuat. Aku
sungguh ingin berteriak. Aku ingin memanggil Artha untuk kembali ke hadapanku.
Tapi lidahku terasa kelu. Suaraku tercekat entah di mana. Dan pada saat aku
menemukan kembali suaraku, Arga telah menggenggam tangan kananku dan meremasnya
dengan penuh kehangatan. Aku merasa tubuhku melemas. Aku tidak bisa
mengkhianati Arga. Aku sendiri yang telah memutuskan untuk memilih Arga. Aku
harus belajar mencintainya sebagaimana dia mencintaiku.
Kuurungkan niatku dan membuang pandanganku dari Arga,
sekali lagi melihat Artha yang kini berdiri beberapa belas meter di hadapanku
sebelum akhirnya dia berpaling dan berlalu pergi dari pestaku.
Sekarang aku tahu pasti mengapa mata dan senyum Arga
sama persis dengan yang dimiliki Artha....
Aku memutuskan untuk mengakui
semuanya pada Arga. Kuceritakan semuanya pada Arga mulai dari awal perkenalanku
dengan Artha, betapa aku mencintainya, dan betapa aku sangat bahagia menjalin
hubungan dengannya selama itu, serta merasa masih mencintainya sampai detik ini
sekalipun aku telah menikah. Aku sempat mengira Arga akan mengamuk dan
menamparku keras-keras di kamar pengantin kami malam itu. Tapi dia tidak
melakukannya. Dia malah memelukku erat-erat dan berbisik dengan lembut di
telingaku. Bisikan yang membuat tengkukku berdiri dan menangis begitu terharu.
“Artha akan kembali ke Jepang besok pagi. Temui dia yang
terakhir kalinya, Reyn. Supaya kamu dapat melepaskan masa lalumu dan melangkah
untuk masa depanmu.”
Arga merenggangkan pelukannya. Kemudian dengan gerakan
yang sangat hati-hati, dia mengangkat daguku dan menatap mataku dalam-dalam.
Disekanya air mataku dengan sangat perlahan, seakan-akan jika dia mencoba
menyentuhku lebih kuat sedikit saja, aku akan retak seperti porselen yang
terbanting ke lantai.
“Kamu tahu kenapa kaca spion mobil lebih kecil dari kaca
depannya?” tanyanya hangat. “Karena Tuhan menginginkan manusia lebih sedikit
melihat ke belakang dan lebih banyak melihat ke depan, Reyn....”
Untaian kalimat Arga yang begitu tulus membuatku
terisak-isak seperti orang gila. Separuh karena merasa bersalah padanya,
separuh lagi merasa bersalah pada Artha. Tapi di saat seperti ini pun Arga
tidak menghakimiku. Dia hanya membiarkanku menangis dalam pelukannya hingga
malam kian larut dan aku tertidur di dadanya yang bidang.
Kulihat Artha tersentak ketika melihat kehadiranku dan
Arga di bandara pagi itu, namun dengan segera dia mencoba menguasai dirinya.
Arga mengucapkan salam perpisahan singkat pada Artha dan pamit untuk ke kamar
kecil sebentar. Aku tahu Arga sengaja melakukannya dan memberikan waktu padaku
untuk berdua saja dengan Artha.
“Sekali lagi, selamat ya.” ujar Artha terbata-bata. “Aku
yakin Arga orang yang sangat baik. Dia pasti akan menjagamu lebih daripada dia
menjaga dirinya sendiri.”
“Kenapa tiga tahun yang lalu kamu memutuskan pergi dan
tidak pernah memberiku kabar sama sekali?” tanyaku tanpa menggubris ucapannya.
“Karena aku merasa tidak pantas untukmu.” tukas Artha
setelah diam sesaat dan kembali membuatku merasa ada garam yang tertabur di
lukaku yang belum sembuh. “Kamu tahu pasti aku bukan terlahir dari keluarga
berada. Dan ketika aku tahu kalau ternyata ibuku hanya wanita yang dimadu, aku
merasa tertampar. Aku merasa hidup mendorongku hingga terjatuh ke jurang yang
paling dalam. Kemudian aku memutuskan pergi ke Jepang berkat beasiswa yang
kudapatkan dengan susah payah, berusaha memperbaiki hidup dan menata hatiku di
sana, sehingga ketika aku kembali nanti, aku bisa memberikan kehidupan yang
jauh lebih layak pada ibu... dan tadinya- padamu juga.”
Kukerjapkan mataku yang terasa perih. Sebisa mungkin
kutahan air mata yang mendesak keluar dari kedua mataku yang sembab.
“Tapi kurasa aku terlambat.” Bibir tipis Artha tersungging
getir. “Kamu sudah menemukan orang lain yang seribu bahkan sejuta kali lebih
baik dariku. Dia tidak akan meninggalkanmu seperti yang pernah kulakukan. Dia
akan menjagamu seumur hidupmu.”
Aku mencari-cari kebohongan dan kemarahan dalam setiap
ucapan Artha dan tidak menemukannya. Dia tulus mengatakannya. Dia ikhlas
membiarkanku mengecap kebahagiaan dengan orang lain. Ketulusan yang membuatku
merasa kerdil dan egois telah menyalahkannya selama ini.
“Dulu, aku pernah mencintaimu. Sekarang pun sama.”
lanjut Artha sederhana. “Tapi dengan cinta yang berbeda. Aku akan menghormatimu
sebagai kakak iparku dan juga akan mengunjungimu setiap kali ketika aku kembali
ke Jakarta untuk menemui ibu.”
Usai berucap demikian, Artha menarik tangan kiriku dan
meletakkan sesuatu di tanganku.
“Jangan buka tanganmu sebelum pesawatku tinggal landas.”
ucapnya pelan.
Kugenggam benda pemberian Artha erat-erat sembari
mengikuti langkahnya yang akhirnya memisahkan kami dalam ruangan berbeda karena
pesawat yang ditumpanginya akan segera berangkat. Aku memandangnya. Dia
memandangku. Kukembangkan telapak tanganku. Dia juga. Kutempelkan telapak
tangan kananku pada telapak tangan kirinya, tapi tak tersentuh. Kami dibatasi
sebuah kaca. Aku dapat melihatnya dengan jelas, namun tidak lagi dapat
menyentuhnya. Dia bukan milikku lagi. Saat ini dan selamanya.
Awan putih laksana gulali indah yang menghias langit
pagi itu. Seberkas cahaya dan sebuah pesawat yang tampak seperti miniatur,
menggores permukaan langit sejauh mataku memandang.
Dengan tangan yang gemetar hebat, kubuka tangan kiriku
yang terkepal memegang pemberian Artha tadi. Mataku terpaku pada sebuah benda
kecil di telapak tangan kiriku. Mungkin bukan benda yang istimewa bagi orang
lain. Tapi sangat berarti dalam hidupku.
Sebuah penghapus. Air mataku tumpah. Berlinang-linang.
“Kamu tahu? Kita adalah pensil dan penghapus.” kata
Artha seraya membelai rambutku malam itu.
Malam pertama ketika dia
mengungkapkan perasaannya padaku dan mengajakku makan malam berdua.
“Pensil dan penghapus?” Kutatap wajahnya dan menyatukan
alisku dengan pandangan tak mengerti.
“Kamu pensilnya dan aku penghapusnya.” Artha tersenyum
begitu lembut dan hampir membuatku meleleh bahagia. “Setiap kali kamu membuat
kesalahan, aku yang akan membantumu untuk menghapus setiap kesalahan itu.
Meskipun setiap kali aku melakukannya, tubuhku akan terasa sakit dan bagian
tubuhku akan terus mengecil, aku bahagia melakukannya. Karena untuk alasan
itulah aku diciptakan. Aku diciptakan untuk selalu menjagamu. Aku diciptakan
untuk selalu menolongmu di setiap kesalahan yang kamu lakukan dalam hidupmu.
Sampai mungkin akhirnya aku akan menghilang dan kamu akan menemukan yang baru
sebagai penggantiku….”
Pikiranku masih terseret pada kenangan masa lalu kalau
saja bukan tepukan pelan di kedua bahuku menarikku kembali ke alam nyata. Aku
menoleh sekejab dan mendapati Arga menatapku dengan penuh kasih sayang. Aku menarik nafas dalam-dalam sampai
paru-paruku terasa penuh. Kubalas tatapan Arga dengan penuh rasa terima kasih
yang tak mampu kuwujudkan dalam kata-kata.
Arga menggamit lenganku, kemudian
membiarkanku mengikuti langkahnya.
Jalanku masih panjang. Kalau dulu aku pernah melakukan
kesalahan, kupastikan aku tidak akan pernah mengulanginya lagi. Aku akan terus
melangkah. Dengan Arga di sisiku.
“Sekarang, kamu adalah pensil. Dan aku penghapusnya….”
gumamku tulus. Arga menoleh dan mengernyitkan keningnya. “Setiap kali kamu
membuat kesalahan, aku yang akan membantumu untuk menghapus setiap kesalahan
itu.
Meskipun setiap kali aku
melakukannya, tubuhku akan terasa sakit dan bagian tubuhku akan terus mengecil,
aku bahagia melakukannya. Karena untuk alasan itulah aku diciptakan. Aku
diciptakan untuk selalu menjagamu. Aku diciptakan untuk selalu menolongmu di setiap
kesalahan yang kamu lakukan dalam hidupmu.”
Kuulang setiap kata-kata yang dulu pernah Artha ucapkan padaku. Tapi aku
tidak mengutip kalimat terakhirnya. Aku tidak ingin Arga mencari penggantiku.
Karena mulai saat ini, aku tidak akan menghilang darinya… (AN)
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh .