Assalmualaikum ..
Bismillahi Rahmaani Rahiim
Ibu adalah sosok wanita istimewa
bagi seseorang. Seorang lelaki tak akan lahir ke bumi kalau tidak ada seorang
wanita bernama ibu. Tanpa jengah oleh tuduhan ngawur kaum feminis yang
menganggap Islam bersikap diskriminatif terhadap wanita, Islam sudah menekankan
untuk menghormati dan memuliakan kaum wanita. Bagaimana berbakti kepada Ibu?
Sejarah hidup para ulama as Salaf
bertabur dengan kisah-kisah bakti kepada sang ibu. Bila dicermati bahkan sikap
mereka nyaris mustahil dilakukan oleh orang-orang biasa. Memang, mereka
bukanlah manusia biasa. Kehidupan mereka sarat manikam hikmah yang sangat
berharga untuk dijadikan sebagai butiran-butiran keteladanan.
Muhammad bin al-Mukandar menuturkan,
“Saat saudaraku, Umar, sibuk menghabiskan malamnya untuk melakukan shalat, aku
justru sibuk memijat-mijat kaki ibuku. Aku tidak rela seandainya malamku
digantikan dengan malam seperti yang dia lakukan.”a
Shalat malam adalah ibadah yang
penuh keutamaan, bahkan sebuah tradisi orang shalih. Berbakti kepada seorang
ibu, ternyata melebihi nilai ibadah tersebut. Lebih-lebih bila atas permintaan
sang ibu.
Ibnu Aun pernah bercerita, “Syahdan,
ada seorang lelaki yang ingin menemui Muhammad bin Sirin di rumah ibunya. Orang
itu bertanya, ‘Sebenarnya apa yang dikerjakan Muhammad di rumah ini? Ada
keperluan apa sehingga sering kemari?’ Orang-orang di situ menjawab, ‘Tidak
ada. Cuma demikianlah kerjanya, selalu terlihat sibuk bila berada di rumah
ibunya.”b
Para ulama as Salaf demikian besar
perhatiannya terhadap kepentingan dan kebahagiaan seorang ibu. Bila perlu
berusaha mencari apa saja yang bisa dikerjakan, demi menyenangkan sang ibu,
meski harus “membuang” banyak waktu.
Hafshah binti Sirin berkata,
“Putraku Hudzail biasa mengumpulkan kayu bakar pada musim panas untuk dikuliti.
Ia juga mengambil bambu dan membelahnya. Aku tinggal mendapatkan enaknya saja.
Bila datang musim dingin, ia membawakan tungku dan meletakkan di belakang
punggungku, sementara aku sendiri berdiam di tempat shalatku. Setelah itu ia
duduk, membakar kayu bakar yang sudah dikupas kulitnya, berikut bambu yang
telah dibelah sebagai bahan bakar yang asapnya tidak mengganggu, tapi bisa
menghangatkan tubuhku. Demikianlah yang dia lakukan dari waktu ke waktu.“c
Begitu indah panorama kehidupan
manusia-manusia pilihan tersebut. Cinta kasih mereka terhadap sang ibu, yang
telah melahirkan dan membesarkan mereka, sungguh memikat hati. Seolah-olah tak
sedikit pun mereka membiarkan diri melakukan secuil kesalahan terhadap ibu
mereka.
“Ibnu Aun menceritakan bahwa suatu
hari sang ibu memanggilnya, namun disambutnya panggilan itu dengan suara yang
menurut anggapannya lebih keras dari suara ibunya. Serta merta beliau
membebaskan dua orang budak.”d
Mereka bukan saja berupaya berbuat
baik kepada sang ibu, namun juga menjaga batas-batas dalam berbicara, agar
tidak sampai melontarkan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan ibu mereka.
Hafshah binti Sirin menceritakan,
“Bila suatu saat Muhammad (bin Sirin) menemui ibunya, dia tidak pernah banyak
berbicara dan mengumbar omongan yang tidak perlu, demi mengormati ibu.”e
Kisah-kisah hebat tersebut
menyodorkan sebuah gambaran, betapa berbakti kepada seorang ibu dalam pandangan
para ulama yang shalih adalah pekerjaan yang sangat mulia. Memang, tidak ada
amalan yang lebih bernilai bagi seorang hamba, sesudah tauhid, dibanding
berbakti kepada sang ibu. Bukankah Allah menyandingkan perintah untuk untuk
berbuat kepada orang tua setelah tauhid?!
Ada seorang lelaki menemui Ibnu
Abbas seraya menuturkan kisahnya, “Aku pernah mencintai seorang wanita, lalu
meminangnya, namun ditolak. Setelah itu datang pria lain meminangnya, ternyata
diterima. Aku merasa cemburu sehingga membunuhnya. Duhai, apakah aku
berkesempatan untuk bertobat?’ Ibnu Abbas balik bertanya, ‘Apakah ibumu masih
hidup?’ Lelaki itu menjawab, ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata, ‘Kalau begitu,
bertobat saja kepada Allah dan beramallah sebisamu.’ Seseorang yang hadir di
situ bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Kenapa engkau menanyakan tentang ibunya?’
Ibnu Abbas menjawab, ‘Aku tidak mengetahui adanya suatu amalan yang lebih mampu
mendekatkan seseorang kepada Allah selain berbakti kepada seorang ibu!”f
Betul-betul sebuah perikehidupan
yang teramat sayang diabaikan. Dari perikehidupan yang begitu agung,
perikehidupan anak manusia yang demikian berbakti kepada ibunya, muncul
sosok-sosok pribadi yang juga amat dimuliakan oleh ibunya. Al Rabi`bin Khutsaim
adalah salah satu contohnya. Beliau adalah salah satu ulama tabi`in yang utama
dan satu di antara delapan orang yang hidup zuhud di zamannya. Merupakan orang
Arab asli dari suku Mudhar, silsilahnya bertemu dengan Rasulullah shallallahu
‘alahi wa sallam pada kakeknya, Ilyas dan Mudhar. Beliau tekun menjalankan
ketaatan kepada Allah semenjak kecil.
Seringkali ibunya terbangun di
tengah malam dan melihat dia masih berada di mihrabnya, berenang dalam munajat
kepada Allah dan tenggelam dalam kekhusyukan shalatnya. Sampai ibunya
memanggil, ‘Ananda Rabi’, kenapa engkau tidak juga tidur?’ Dia menjawab,
‘Bagaimana seseorang yang di waktu gelap khawatir akan diserbu musuh, akan bisa
tidur nyenyak?” Air mata ibu pun meleleh di pipinya, lalu didoakanlah putranya
agar mendapat kebaikan.
Semakin dewasa, takwa dan takutnya
kepada Allah semakin bertambah. Kadang-kadang ibunya merasa khawatir karena
seringnya melihat puteranya menangis sendiri di gelapnya malam, sementara
kebanyakan orang masih asyik menutup matanya. Ibunya menyangka yang bukan-bukan
dan memanggilnya, ‘Apa yang terjadi padamu wahai anakku, apakah engkau telah
melakukan kejahatan atau telah membunuh jiwa?’ Beliau menjawab, ‘Benar ibu, aku
telah membunuh seorang jiwa!’
Sang ibu bertanya, ‘Siapakah yang
kau bunuh, nak? Katakanlah agar aku bisa meminta orang-orang menjadi perantara
damai dengan keluarganya, semoga mereka memaafkamu. Demi Allah seandainya
keluarga korban itu mengetahui tangisan dan penderitaanmu tentulah mereka akan
kasihan melihatmu.’
Beliau berkata, ‘Wahai ibu… jangan
beritahukan kepada orang lain, aku telah membunuh jiwaku dengan dosa-dosa!’ Allahu
akbar…! Indah sekali mereka berbakti kepada sang ibu.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh .
Catatan:
a Shifatush Shafwah, II/143.
b Shifatush Shafwah, III/245.
c Shifatush Shafwah, IV/25.
d Siyaru A’lamin Nubala, VI/366.
e Shifatush Shafwah, III/245.
f Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, I/45.
a Shifatush Shafwah, II/143.
b Shifatush Shafwah, III/245.
c Shifatush Shafwah, IV/25.
d Siyaru A’lamin Nubala, VI/366.
e Shifatush Shafwah, III/245.
f Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Al-Adab al-Mufrad, I/45.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar