Minggu, 05 Februari 2012

Terobsesi Oleh Figur Suami



Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh
Bismillahi Rahmani Rahiim..

Ketika lahir, anak lelakiku gelap benar kulitnya, Lalu kubilang pada ayahnya: “Subhanallah, dia benar-benar mirip denganmu ya!”
Suamiku menjawab:“Bukankah sesuai keinginanmu? Kau yang bilang kalau anak lelaki ingin seperti aku.” Aku mengangguk. Suamiku kembali bekerja seperti biasa. Ketika bayi kecilku
berulang tahun pertama, aku mengusulkan perayaannya dengan mengkhatamkan Al Quran di rumah Lalu kubilang pada suamiku:
“Supaya ia menjadi penghafal Kitabullah ya,Yah.” Suamiku menatap padaku seraya pelan berkata: “Oh ya. Ide bagus itu.”

Bayi kami itu, kami beri nama Muhammad Ahmad, mengikuti nama Baginda Rasulullah. Yang Sering dipanggil Ahmad.Tidak berapa lama, ia sudah pandai memanggil-manggil kami berdua: Ammaa. Apppaa. Lalu ia menunjuk pada dirinya seraya berkata: Ammat! Maksudnya ia Ahmad. Kami berdua sangat bahagia dengan kehadirannya.
Ahmad tumbuh jadi anak cerdas, persis seperti Ayahnya. Pelajaran matematika sederhana sangat mudah dikuasainya Oleh Suamiku. Ah, Ayahnya memang jago matematika. Ia kebanggaan keluarganya. Sekarang pun sedang S3 di bidang Matematika.

Ketika Ahmad ulang tahun kelima, kami mengundang keluarga. Berdandan rapi kami semua. Tibalah saat Ahmad menjadi bosan dan agak mengesalkan. Tiba-tiba ia minta naik ke punggung Ayahnya. Entah apa yang menyebabkan Ayahnya begitu berang, mungkin menganggap  Ahmad  sudah  sekolah,  sudah  terlalu  besar  untuk  main  kuda-kudaan,  atau lantaran banyak tamu dan ia kelelahan. Badan Ahmad terhempas ditolak Ayahnya, wajahnya merah, tangisnya pecah, Muhammad Ahmad ini merasa terluka dihatinya pada hari ulang tahunnya kelima.

Sejak hari itu, Ahmad jadi pendiam. Murung ke sekolah, menyendiri di rumah. Ia tak lagi suka bertanya, dan ia menjadi amat mudah marah. Aku coba mendekati suamiku, dan menyampaikan alasanku. Ia sedang menyelesaikan papernya dan tak mau diganggu oleh urusan seremeh itu, katanya.
Tahun demi tahun berlalu. Tak terasa Ahmad telah selesai S1. Ahmad menjadi Pemuda gagah, pandai dan pendiam telah memberikan aku seorang mantu dan seorang cucu. Ketika lahir, cucuku itu, istrinya berseru sambil tertawa-tawa lucu: “Subhanallah! Kulitnya gelap, Mas, persis seperti kulitmu!” Ahmad menoleh dengan kaku, tampak ia tersinggung dan merasa malu.
“Salahmu. Kamu yang ingin sendiri, kan. Kalau lelaki ingin seperti aku!”Jawab Ahmad ke Istrinya.Di tanganku, terajut ruang dan waktu. Terasa ada yang pedih di hatiku. Ada yang mencemaskan aku. Cucuku pulang ke rumahnya, bulan berlalu. Kami, nenek dan kakeknya, datang bertamu. Ahmad kecil sedang digendong ayahnya. Menangis ia. Tiba-tiba Ahmad anakku menyergah sambil berteriak menghentak,
“Ah, gimana sih, kok nggak dikasih pampers anak ini!” Dengan kasar disorongkannya bayi mungil itu ke Istrinya.

Suamiku membaca korannya, tak tergerak hatinya oleh suasana. Ahmad, papa bayi ini, segera membersihkan dirinya di kamar mandi. Aku, wanita tua, ruang dan waktu kurajut dalam pedih duka seorang istri dan seorang ibu. Aku tak sanggup lagi menahan gelora di dada ini. Pecahlah tangisku serasa sudah berabad aku menyimpannya. Aku rebut koran di tangan suamiku dan kukatakan padanya:
“Dulu kau hempaskan Ahmad di lantai itu! Ulang tahun ke lima, kau ingat? Kau tolak ia merangkak di punggungmu! Dan ketika aku minta kau perbaiki, kau bilang kau sibuk sekali. Kau dengar? Kau dengar anakmu tadi? Dia tidak suka dipipisi. Dia asing dengan anaknya sendiri!”
Allahumma Shali ala Muhammad. Allahumma Shalli alaihi wassalaam. Aku ingin anakku menirumu, wahai Nabi.Bukan Meniru Ayahnya sebagai suri tauladan…Yang Mana Kita harus mencontoh apa yang dicontohkan Rasulullah SAW.

Engkau  membopong  cucu-cucumu  di  punggungmu,  engkau  bermain  berkejaran dengan mereka Engkau bahkan menengok seorang anak yang burung peliharaannya mati. Dan engkau pula yang berkata ketika seorang ibu merenggut bayinya dari gendongannya sambil berkata “Bekas najis ini bisa kuseka, tetapi apakah kau bisa menggantikan saraf halus yang putus di kepalanya?”
Aku memandang suamiku yang terpaku. Aku memandang anakku yang tegak diam bagai karang tajam. Kupandangi keduanya, berlinangan air mata.

Aku tak boleh berputus asa dari Rahmat-Mu, ya Allah, bukankah begitu?” Kataku Dala Hati.
Lalu kuambil tangan suamiku, meski kaku, kubimbing ia mendekat kepada Ahmad. Kubawa tangannya membelai kepala anaknya, yang sudah berpuluh tahun tak merasakan sentuhan tangan seorang ayah yang didambakan. Dada Ahmad berguncang menerima belaian Ayahnya.. Kukatakan di hadapan mereka berdua,
“Lakukanlah ini, permintaan terakhir dari seorang Ibu dan Istri yang akan dijemput ajalnya dan  yang tak mampu mewariskan apa-apa: kecuali Cinta. Lakukanlah, demi setiap anak lelaki yang akan lahir dan menurunkan keturunan demi keturunan.

Lakukanlah, untuk sebuah perubahan besar di rumah tangga kita! Juga di permukaan dunia. Tak akan pernah ada perdamaian selama anak laki-laki tak diajarkan rasa kasih dan sayang,  ucapan  kemesraan,  sentuhan  dan  belaian,  bukan  hanya  pelajaran  untuk  menjadi jantan seperti yang kalian pahami. Kegagahan tanpa perasaan.
Dua laki-laki dewasa ini mengambang air di mata mereka. Dua laki-laki dewasa dan seorang wanita tua terpaku diam di tempatnya.Mereka semua hanyut dalam penyesalan…
Memang tak mudah untuk berubah. Tapi harus dimulai. Aku serahkan bayi Ahmad ke pelukan suamiku. Aku bilang:

“Tak ada kata terlambat untuk mulai, Sayang.”
Dua laki-laki dewasa itu kini belajar kembali. Menggendong bersama, bergantian menggantikan  popoknya,  mengingatkan kembali antara Ayah dengan Anak Lelakinya dan  pura-pura  merancang  hari  depan  si  bayi  sambil  tertawa-tawa berdua,  membuka  kisah-kisah  lama  mereka  yang  penuh  kabut  rahasia,  dan  menemukan betapa sesungguhnya di antara keduanya Allah menitipkan perasaan saling membutuhkan yang tak pernah terungkapkan dengan kata, atau sentuhan. Kini tawa mereka memenuhi rongga dadaku yang sesak oleh bahagia, syukur pada-Mu Ya Rabb…
Ya Allah! Engkaulah penolong satu-satunya ketika semua jalan tampak buntu. Engkaulah cahaya di ujung keputusasaanku.

Tiga laki-laki dalam hidupku aku titipkan kembali mereka di tangan-Mu.
Kelak, jika aku boleh bertemu dengannya, Nabiku, aku ingin sekali berkata:
Ya, Nabi. aku telah mencoba dengan daya upaya serta tenaga untuk mengajak mereka semua menirumu! Amin…..

Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh.  (AN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar