Minggu, 29 April 2012

Berbagi Keajaiban


Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh

Kabar buruk itu sampai juga di telinga Doni. Dia divonis kanker paru-paru oleh dokter. Kisah kehidupannya yang sebelumnya sering dia bangga-banggakan kini serasa hancur tiada arti lagi.

Doni tahu kanker paru-paru merupakan penyebab kematian paling utama dibandingkan kanker-kanker lainnnya. Namun tak ingin lama-lama tenggelam dalam kesedihan, dicobanya segala cara untuk menyembuhkan penyakit yang tengah menggerogoti tubuhnya itu, bahkan dia tak segan-segan mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkan perawatan terbaik di salah satu rumah sakit ternama di luar negeri.

Berbagai pengobatan dan sesi kemoterapi telah dilaluinya. Namun keberuntungan tak berpihak padanya. Keadaannya tak kunjung membaik, bahkan hanya semakin memburuk. Kanker stadium IV kini bercokol di paru-parunya. Keluarganya mencoba untuk memberikan motivasi dan semangat agar dia tak menyerah.

Satu ketika dia menemukan alamat seseorang yang konon katanya mampu menyembuhkan kanker ganas sekalipun. Doni mendatangi kediaman orang tersebut, diceritakannya tentang riwayat penyakitnya kepada Pak Syukur, nama orang itu, yang berjanji akan berusaha untuk menyembuhkan Doni.

Waktu berlalu, meskipun kondisi Doni mulai agak membaik tapi kanker itu masih bersarang di tubuhnya. Doni menyadari waktunya yang semakin menipis.

"Tak adakah pengobatan lain yang bisa membantuku, Pak?" tanya Doni saat rasa ketakutan akan kematian mulai menguasai benaknya. "Aku sering mendengar tentang keberhasilan anda dalam menyembuhkan pasien-pasien lainnya... Lalu apa yang terjadi denganku?"

Pak Syukur menghembuskan napas, dan mencoba untuk menyabarkan Doni, "Nak Doni, aku hanyalah seorang manusia biasa yang hanya bisa berupaya untuk memberikan pengobatan terbaik untuk pasien-pasienku.", "Aku mungkin telah membantu meringankan sakit itu, namun keajaibanlah yang telah menyembuhkan mereka." tambahnya pelan.

"Keajaiban?" sesaat Doni tertegun. "Seandainya di dunia ini ada dijual keajaiban, aku rela membayar berapa pun meski harus menghabiskan seluruh hartaku." sahut Doni lemah meratapi ketidakberuntungannya.

Pak Syukur berpikir sejenak lalu beliau mulai menuliskan sesuatu dan menyerahkannya kepada Doni. "Datangilah tempat ini, Nak Doni.", "Tempat dimana mungkin kamu bisa membeli keajaiban itu."

"Be.. benarkah?" tanya Doni ragu, ia takkan mudah percaya hal mustahil seperti itu.

"Cobalah kau datangi, tak ada salahnya kan?"

"Seandainyapun tempat ini memang benar menjual keajaiban, lalu dengan apa aku bisa membelinya, Pak?"

Kembali Pak Syukur menyerahkan selembar catatan yang lain. "Bacalah setibanya engkau di tempat itu."

Pada awalnya Doni tidak memperdulikannya, namun berselang beberapa hari akhirnya dia mendatangi juga tempat yang dimaksud oleh Pak Syukur.
Akan tetapi betapa terkejutnya Doni setelah mendapatkan tempat yang menjadi tujuannya ternyata adalah sebuah masjid kecil yang indah. Doni mengambil lembaran kertas yang satu lagi dan membaca pesan yang tertulis di dalamnya.

'Sesungguhnya kamu bisa mendapatkan keajaiban itu dimana saja dan kapan saja. Tetapi alangkah baiknya jika engkau mencarinya langsung di rumahNya... Dan untuk bayarannya? Sekarang berbaliklah dan cobalah memposisikan dirimu sebagai seseorang yang hendak menikmati sebuah karya seni yang tak sedikitpun bagian akan terlewatkan oleh pandanganmu... Bukalah matamu, nak...'

Doni membalikkan tubuhnya, dilihatnya sebuah panti untuk penderita cacat berdiri tepat di seberang jalan. Beberapa pengemis dan anak jalanan di sepanjang jalan tak luput pula dari perhatiannya, mereka mencoba menghampiri beberapa orang yang berseliweran demi meminta sedikit rejeki untuk sesuap nasi. Kembali Doni melanjutkan membaca catatan Pak Syukur.

'... Berdoa, memohonlah dengan tulus kepada Sang Pemberi Keajaiban dan lakukanlah kebaikan dalam hidupmu, anakku. Begitulah harga yang mungkin bisa kau berikan untuk mendapatkan keajaiban yang kau cari. Dan niscaya bila Dia berkehendak, keajaiban itupun akan datang...'

Masih terus dibacanya pesan yang tertulis di kertas itu. Dan tanpa Doni sadari, setetes dua tetes air mata kini membasahi pipinya. Dia mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali dia bersujud menghadapNya? Akh... Tak bisa diingatnya lagi... Dan diapun menyadari betapa alpanya dia selama ini.

Doni mulai mengisi hari-hari tak lagi hanya untuk mengobati penyakit yang menderanya, kini diapun taat melaksanakan ibadah dan banyak membantu orang-orang yang membutuhkan. Dia tak lagi hanya peduli akan dirinya sendiri, melainkan mulai melihat orang-orang lain di sekitarnya. Beberapa hal yang terabaikan olehnya selama bertahun-tahun.

Hari berganti minggu... Minggu berganti bulan...

Di suatu hari yang cerah, lima bulan semenjak Doni menginjakkan kakinya pertama kali di masjid kecil itu... Kini ia terbaring lemah di sebuah pembaringan rumah sakit, sudah tiga hari ini kondisi kesehatannya benar-benar menurun. Bayangan peristiwa-peristiwa beberapa bulan terakhir berkelebat di benaknya.

Doni memandang Pak Syukur yang duduk di sisi tempat tidur, Doni memang sengaja memintanya datang. Ia tersenyum,

"Bapak masih ingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku bertanya-tanya apakah aku bisa menemukan sebuah keajaiban yang dapat menghilangkan penyakitku?" Pak Syukur mengangguk pelan, "Menemukan mesjid yang indah dan tenteram itu, telah membuka mataku betapa lalainya aku selama ini. Sejak hari itu aku mendekatkan diri padaNya, aku banyak berdoa, memohon ampunan dan rahmatNya. Tak lupa aku menyumbangkan sebagian penghasilanku untuk menolong mereka yang membutuhkan bantuan." sesaat Doni terdiam, ia mencoba meredam rasa sakit yang berkecamuk di dadanya. "Untuk semua yang telah aku lakukan, telah aku berikan beberapa bulan ini, Allah ternyata masih tak berkenan memberikan keajaiban itu untukku." ujarnya dengan nada getir.

Doni kembali memandang lelaki tua bersahaja yang masih setia menemaninya, "Tapi aku tak bersedih, pak..." lanjutnya, "Aku tak marah atas apa yang menimpaku, dan aku tak menyesal telah berbuat kebaikan pada mereka meskipun awalnya aku mengharapkan sebuah kesembuhan dari Allah sebagai balasannya. Kini aku merasa lebih tenang, lebih bahagia, dan lebih dekat padaNya."

Meskipun terlihat pucat namun di wajahnya terpancar senyum kebahagiaan itu, "Pesan terakhir bapak di catatan yang aku baca lima bulan lalu, lagi-lagi membuka mataku untuk yang kedua kalinya..."

Sore itu, dengan didampingi istri dan anaknya, Doni mengehembuskan nafas terakhir dengan tenang.

'Dan pesanku yang terakhir, nak. Tak semua orang cukup beruntung bisa mendapatkan keajaiban dariNya. Dan bila engkau termasuk di antara yang tak beruntung itu, janganlah bersedih, janganlah kecewa. Justru engkau sendiri memberikan keajaiban-keajaiban kepada kaum-kaum lemah / tak mampu yang membutuhkan banyak keajaiban demi mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Dan itu, tak kalah berharganya...'

Berharap Ingin Mendapat Keajaiban,tanpa disadari malah dirinya yang memberikan Keajaiban..

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh

---ooo000ooo---

Shay adalah Penyandang Cacat Sejak Lahir.



Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikaum Warahmatullahi Wabarakatuuh

Pada sebuah jamuan makan malam pengadaan dana untuk sekolah anak-anak cacat, ayah dari salah satu anak yang bersekolah disana menghantarkan satu pidato yang tidak mungkin dilupakan oleh mereka yang menghadiri acara itu. Setelah mengucapkan salam pembukaan, ayah tersebut mengangkat satu topik:

Ketika tidak mengalami gangguan dari sebab-sebab eksternal, segala proses yang terjadi dalam alam ini berjalan secara sempurna/ alami. Namun tidak demikian halnya dengan anakku, Shay. Dia tidak dapat mempelajari hal-hal sebagaimana layaknya anak-anak yang lain. Nah, bagaimanakah proses alami ini berlangsung dalam diri anakku?

Para peserta terdiam menghadapi pertanyaan itu. Ayah tersebut melanjutkan: “Saya percaya bahwa, untuk seorang anak seperti Shay, yang mana dia mengalami gangguan mental dan fisik sedari lahir, satu-satunya kesempatan untuk dia mengenali alam ini berasal dari bagaimana orang-orang sekitarnya memperlakukan dia”

Kemudian ayah tersebut menceritakan kisah berikut:
Shay dan aku sedang berjalan-jalan di sebuah taman ketika beberapa orang anak sedang bermain baseball. Shay bertanya padaku,”Apakah kau pikir mereka akan membiarkanku ikut bermain?” Aku tahu bahwa kebanyakan anak-anak itu tidak akan membiarkan orang-orang seperti Shay ikut dalam tim mereka, namun aku juga tahu bahwa bila saja Shay mendapat kesempatan untuk bermain dalam tim itu, hal itu akan memberinya semacam perasaan dibutuhkan dan kepercayaan untuk diterima oleh orang-orang lain, diluar kondisi fisiknya yang cacat.

Aku mendekati salah satu anak laki-laki itu dan bertanya apakah Shay dapat ikut dalam tim mereka, dengan tidak berharap banyak. Anak itu melihat sekelilingnya dan berkata, “kami telah kalah 6 putaran dan sekarang sudah babak kedelapan. Aku rasa dia dapat ikut dalam tim kami dan kami akan mencoba untuk memasukkan dia bertanding pada babak kesembilan nanti Shay berjuang untuk mendekat ke dalam tim itu dan mengenakan seragam tim dengan senyum lebar, dan aku menahan air mata di mataku dan kehangatan dalam hatiku. Anak-anak tim tersebut melihat kebahagiaan seorang ayah yang gembira karena anaknya diterima bermain dalam satu tim.

Pada akhir putaran kedelapan, tim Shay mencetak beberapa skor, namun masih ketinggalan angka. Pada putaran kesembilan, Shay mengenakan sarungnya dan bermain di sayap kanan. Walaupun tidak ada bola yang mengarah padanya, dia sangat antusias hanya karena turut serta dalam permainan tersebut dan berada dalam lapangan itu. Seringai lebar terpampang di wajahnya ketika aku melambai padanya dari kerumunan. Pada akhir putaran kesembilan, tim Shay mencetak beberapa skor lagi. Dan dengan dua angka out, kemungkinan untuk mencetak kemenangan ada di depan mata dan Shay yang terjadwal untuk menjadi pemukul berikutnya.

Pada kondisi yg seperti ini, apakah mungkin mereka akan mengabaikan kesempatan untuk menang dengan membiarkan Shay menjadi kunci kemenangan mereka? Yang mengejutkan adalah mereka memberikan kesempatan itu pada Shay. Semua yang hadir tahu bahwa satu pukulan adalah mustahil karena Shay bahkan tidak tahu bagaimana caranya memegang pemukul dengan benar, apalagi berhubungan dengan bola itu.

Yang terjadi adalah, ketika Shay melangkah maju kedalam arena, sang pitcher, sadar bagaimana tim Shay telah mengesampingkan kemungkinan menang mereka untuk satu momen penting dalam hidup Shay, mengambil beberapa langkah maju ke depan dan melempar bola itu perlahan sehingga Shay paling tidak bisa mengadakan kontak dengan bola itu. Lemparan pertama meleset, Shay mengayun tongkatnya dengan ceroboh dan luput. Pitcher tersebut kembali mengambil beberapa langkah kedepan, dan melempar bola itu perlahan kearah Shay. Ketika bola itu datang, Shay mengayun kearah bola itu dan mengenai bola itu dengan satu pukulan perlahan kembali kearah pitcher.

Permainan seharusnya berakhir saat itu juga, pitcher tsb bisa saja dengan mudah melempar bola ke basement pertama, Shay akan keluar, dan permainan akan berakhir. Sebaliknya, pitcher tersebut melempar bola melewati basement pertama, jauh dari jangkauan semua anggota tim. Penonton bersorak dan kedua tim mulai berteriak, “Shay, lari ke base satu! Lari ke base satu!”. Tidak pernah dalam hidup Shay sebelumnya ia berlari sejauh itu, tapi dia berhasil melaju ke base pertama. Shay tertegun dan membelalakkan matanya.

Semua orang berteriak, “Lari ke base dua, lari ke base dua!” Sambil menahan napasnya, Shay berlari dengan canggung ke base dua. Ia terlihat bersinar-sinar dan bersemangat dalam perjuangannya menuju base dua. Pada saat Shay menuju base dua, seorang pemain sayap kanan memegang bola itu di tangannya. Pemain itu merupakan anak terkecil dalam timnya, dan dia saat itu mempunyai kesempatan menjadi pahlawan kemenangan tim untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia dapat dengan mudah melempar bola itu ke penjaga base dua. Namun pemain ini memahami maksud baik dari sang pitcher, sehingga diapun dengan tujuan yang sama melempar bola itu tinggi ke atas jauh melewati jangkauan penjaga base ketiga. Shay berlari menuju base ketiga.

Semua yang hadir berteriak, “Shay, Shay, Shay, teruskan perjuanganmu Shay” Shay mencapai base ketiga saat seorang pemain lawan berlari ke arahnya dan memberitahu Shay arah selanjutnya yang mesti ditempuh. Pada saat Shay menyelesaikan base ketiga, para pemain dari kedua tim dan para penonton yang berdiri mulai berteriak, “Shay, larilah ke home, lari ke home!”. Shay berlari ke home, menginjak balok yg ada, dan dielu-elukan bak seorang hero yang memenangkan grand slam. Dia telah memenangkan game untuk timnya.

Hari itu, kenang ayah tersebut dengan air mata yang berlinangan di wajahnya, para pemain dari kedua tim telah menghadirkan sebuah cinta yang tulus dan nilai kemanusiaan kedalam dunia. Shay tidak dapat bertahan hingga musim panas berikut dan meninggal musim dingin itu. Sepanjang sisa hidupnya dia tidak pernah melupakan momen dimana dia telah menjadi seorang hero, bagaimana dia telah membuat ayahnya bahagia, dan bagaimana dia telah membuat ibunya menitikkan air mata bahagia akan sang pahlawan kecilnya.

Sebuah pepatah bijak yang mungkin seringkali kita dengar: sekelompok masyarakat akan dinilai dari cara mereka memperlakukan seorang yang paling tidak beruntung diantara mereka.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh


Pengorbanan Ibu Melindungi Puteranya


Top of Form

Bismillahirrahmaniirrahiim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh

Ketika gempa bumi melanda Jepang.

Sewaktu regu penyelamat tiba di sebuah rumah yang telah musnah milik seorang wanita muda, diantara reruntuhan mereka melihat tubuh seorang wanita dalam posisi seperti berlutut (seperti orang yang sedang bersembahyang/berdoa), dengan badannya menunduk ke depan dan kedua tangannya  melindungi sesuatu. Runtuhan rumah tersebut telah mengenai pada bahagian belakang dan kepalanya.

Regu penyelamat dengan susah payah Berusaha untuk mencapai wanita tersebut melalui celah reruntuhan tersebut dengan harapan wanita tersebut masih hidup.
Namun, keadaan badan wanita tersebut yang Dngin dan kaku menunjukkan dia sudah Tidak bernyawa lagi. Regu penyelamat lantas terus meninggalkan rumah wanita tersebut.

Tiba-tiba, ketua Regu penyelamat merasa seperti ada sesuatu yang tidak wajar, lalu memutuskan untuk kembali lag ke rumah tersebut.

 Dia berlutut sekali lagi dan coba mencapai semampunya diantara reruntuhan untuk mencapai sedikit ruang kosong di bawah mayat wanita tersebut. Tiba-tiba, dia menjerit, “ada bayi, ada bayi disini!!”

Lantas seluruh pasukan penyelamat bekerjasama menyingkirkan sisa runtuhan disekeliling mayat wanita tersebut. Apa yang mereka lihat ada seorang bayi lelaki yang berusia 3 bulan yang berbalut deangan selimut di dalam pelukan wanita tersebut. Ternyata wanita tersebut telah berkorban ketika melindungi bayinya.

Ketika gempa bumi terjadi, dia telah menggunakan tubuhnya sebagai perisai pelindung bagi bayinya. Bayi tersebut masih nyenyak tidur ketika ketua regu penyelamat mengangkatnya keluar dari celah reruntuhan.

Dokter dengan segera memeriksa keadaan bayi lelaki tersebut dan ketika docter membuka balutan selimut bayi itu, dia menemukan sebuah telepon seluler dan terpampang di layar telepon tersebut sepotong pesan bertuliskan;

“SEANDAINYA KAMU SELAMAT, INGATLAH BAHWA IBU MENYAYANGIMU”

Pesan SMSA itu  dibaca oleh semua orang yang berada di situ,
dan mereka semua terahru dan tersentuh…

"Seseorang akan merasa kehilangan ketika orang itu sudah tiada"
sebelum penyesalan  buat orang tua bahagia.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh
---ooo000ooo---



Rabu, 25 April 2012

Kesederhanaan Itulah Prinsip Hidupnya



Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh

Seorang lelaki yang sedang sibuk menggembalakan domba-dombanya di padang rumput dihampiri seorang cendekiawan. Terjadilah perbincangan antara keduanya. Dari perbincangan itu, cendekiawan itu mengetahui bahwa penggembala itu buta huruf.   

“Mengapa engkau tidak belajar?” Tanya cendekiawan.
“Aku telah mendapatkan sari semua ilmu. Karena itu, aku tidak perlu belajar lagi,” jawab penggembala mantap.
“Coba jelaskan pelajaran apa yang telah kamu peroleh!” pinta sang cendekiawan.

Sambil menatap lelaki berpenampilan rapi itu, penggembala menjelaskan : “Sari semua ilmu pengetahuan ada lima.
Pertama, selagi masih ada peluang untuk bersikap jujur, aku tidak akan pernah berbohong.
Kedua, selama masih ada makanan halal, aku tidak akan pernah memakan makanan haram.
Ketiga, jika masih ada cela (kekurangan) dalam diriku, aku tidak akan pernah mencari-cari (mempersalahkan) keburukan orang lain.
Keempat, selagi rizki Allah masih ada di bumi, aku tidak akan memintanya kepada orang lain.
Kelima, sebelum menginjakkan kaki di surga, aku tidak akan pernah melupakan tipu daya setan.”

Cendekiawan itu sangat kagum atas jawaban penggembala seraya berkata, “Kawan, semua ilmu telah terkumpul dalam dirimu. Siapapun yang mengetahui kelima hal yang kau sebutkan tadi dan dapat melaksanakanya, pasti dapat mencapai tujuan ilmu-ilmu Islam serta tidak memerlukan buku-buku ilmu dan filsafat.”


Kesombongan Itu Hanya Milik Allah SWT



Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh


'Ali adalah seorang filosof yang beranggapan bahwa ia tahu segala-galanya.

Semua orang sepakat bahwa ia memang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sains dan seni.

Namun, ia suka menyombongkan diri bahwa ia adalah orang yang paling pandai dikota itu.

Sahabat 'Ali, Sam, terganggu oleh kesombongannya ini dan berusaha keras agar 'Ali mau melihat dunia sekelilingnya dengan mata terbuka.

Akan tetapi, argumen-argumen yang dikemukakannya selalu saja mentok.

Sesudah membicarakan masalahnya dengan seorang pelaut yang dikenalnya, Sam memutuskan menganjurkan 'Ali untuk ikut berlayar.

Perjalanan seperti ini akan menunjukkan kepada 'Ali berbagai cara hidup lain dan memperlihatkan kepadanya berbagai kesulitan yang belum pernah dialaminya.

Yang membuatnya heran, 'Ali menerima anjurannya itu dan kemudian berbagai persiapan pun dilakukan.

Sesudah berada dilaut, 'Ali berbicara tentang filsafat dengan para pelaut.

Sang Nahkoda mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi akhirnya ia menyela pembicaraan dan mengeluh bahwa ia bosan dengan pembicaraan ini.

"Apakah engkau tahu dengan filsafat?" tanya 'Ali.

"Sama sekali tidak," jawab sang Nahkoda.

"Sungguh sayang," Kata 'Ali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini."

Sang Nahkoda pun mendiamkan saja komentar seperti ini dan sibuk mengemudikan kapal.

Mereka berlayar selama beberapa hari.

'Ali sangat senang dan terus menerus berbicara.

Ia sedemikian asyik menerangkan gagasannya tentang bagaimana pemerintah semestinya membina negeri mereka dan bagaimana pemimpin menangani berbagai persoalan yang berbeda sehingga ia merasa tidak perlu lagi belajar tentang pelayaran.

Malahan ketika mereka membuang sauh disepanjang sebuah pulau kecil untuk mengubah arah, 'Ali, yang tidak bisa berenang, tidak mau memanfaatkan air yang tenang guna meminta sahabat-sahabat pelautnya untuk mengajarinya berenang.

Ia juga tidak bertanya tentang kehidupan mereka di laut.

Malam berikutnya, ketika mereka berada ditengah-tengah lautan, dalam perjalanan pulang, kapten kapal merasa khawatir.

Ada tanda-tanda jelas bahwa badai bakal datang.

Awak kapal bersiap-siap menghadapi keadaan darurat ini.

Hanya 'Ali saja yang tetap tenang dalam kabinnya.

Ia sibuk memikirkan persoalan-persoalan penting dan utama.

Angin bertiup keras sehingga sang Kapten tidak sanggup mengendalikan kapalnya.

Awak kapal, yang panik dan ketakutan, terlempar kesana kemari.

Ada banyak air di geladak karena hujan lebat dan gelombang besar sehigga kapal pun perlahan-lahan mulai karam.

Sang Nahkoda berseru kepada awak kapal untuk segera bersiap-siap meninggalkan kapal.

Perahu pelampung satu-satunya pun diturunkan ke air dan segera jelas bahwa perahu itu tak cukup untuk memuat semua orang.

Sang Nahkoda dan beberapa awak kapal bersiap-siap terjun kelaut dan berenang.

Kemudian sang Nahkoda ingat pada 'Ali.

Ia meminta salah seorang awak kapal untuk mencarinya.

'Ali berpegangan dipintu kabinnya dan berusaha menjaga keseimbangannya.

Sang awak kapal pun berseru kepadanya,

"Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal itu. Tenggelam!"

'Ali, yang kebingungan, dibantu naik keatas geladak.

Sang Nahkoda berteriak, “Engkau bisa berenang?”
"Tidak!" teriak ‘Ali.

Sang Nahkoda menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sungguh sayang, sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang."

Malam itu, sang Nahkoda dan awaknya pun diselamatkan oleh kapal lain sesudah badai reda.

'Ali sendiri juga selamat berkat bantuan dua awak kapal yang tetap membuatnya terapung di dalam air.

Sejak hari itu, 'Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya yang luas tentang filsafat.

Beberapa tahun setelah kejadian itu, 'Ali memberikan hadiah kepada sang Nahkoda, yang kini menjadi sahabat karibnya.

Hadiah itu berupa lukisan kapal di laut yang sedang dihantam badai.

Ada dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:

"Hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air."

"Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusian,

dan engkau akan , Mengapung dilautan penciptaan."

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuuh

---ooo000ooo---
By:Jalaluddin Rumi.

Kesombongan Itu Hanya Milik Allah SWT


Bismillahirrahmanirrahiim
Assalamualaikum Warahmataullahi Wabarakatuuh

'Ali adalah seorang filosof yang beranggapan bahwa ia tahu segala-galanya.

Semua orang sepakat bahwa ia memang memiliki pengetahuan luas tentang berbagai sains dan seni.

Namun, ia suka menyombongkan diri bahwa ia adalah orang yang paling pandai dikota itu.

Sahabat 'Ali, Sam, terganggu oleh kesombongannya ini dan berusaha keras agar 'Ali mau melihat dunia sekelilingnya dengan mata terbuka.

Akan tetapi, argumen-argumen yang dikemukakannya selalu saja mentok.

Sesudah membicarakan masalahnya dengan seorang pelaut yang dikenalnya, Sam memutuskan menganjurkan 'Ali untuk ikut berlayar.

Perjalanan seperti ini akan menunjukkan kepada 'Ali berbagai cara hidup lain dan memperlihatkan kepadanya berbagai kesulitan yang belum pernah dialaminya.

Yang membuatnya heran, 'Ali menerima anjurannya itu dan kemudian berbagai persiapan pun dilakukan.

Sesudah berada dilaut, 'Ali berbicara tentang filsafat dengan para pelaut.

Sang Nahkoda mendengarkan dengan sabar tanpa berkata sepatah kata pun, tetapi akhirnya ia menyela pembicaraan dan mengeluh bahwa ia bosan dengan pembicaraan ini.

"Apakah engkau tahu dengan filsafat?" tanya 'Ali.

"Sama sekali tidak," jawab sang Nahkoda.

"Sungguh sayang," Kata 'Ali sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, sebab separuh hidupmu terbuang percuma karena tidak punya pengetahuan seperti ini."

Sang Nahkoda pun mendiamkan saja komentar seperti ini dan sibuk mengemudikan kapal.

Mereka berlayar selama beberapa hari.

'Ali sangat senang dan terus menerus berbicara.

Ia sedemikian asyik menerangkan gagasannya tentang bagaimana pemerintah semestinya membina negeri mereka dan bagaimana pemimpin menangani berbagai persoalan yang berbeda sehingga ia merasa tidak perlu lagi belajar tentang pelayaran.

Malahan ketika mereka membuang sauh disepanjang sebuah pulau kecil untuk mengubah arah, 'Ali, yang tidak bisa berenang, tidak mau memanfaatkan air yang tenang guna meminta sahabat-sahabat pelautnya untuk mengajarinya berenang.

Ia juga tidak bertanya tentang kehidupan mereka di laut.

Malam berikutnya, ketika mereka berada ditengah-tengah lautan, dalam perjalanan pulang, kapten kapal merasa khawatir.

Ada tanda-tanda jelas bahwa badai bakal datang.

Awak kapal bersiap-siap menghadapi keadaan darurat ini.

Hanya 'Ali saja yang tetap tenang dalam kabinnya.

Ia sibuk memikirkan persoalan-persoalan penting dan utama.

Angin bertiup keras sehingga sang Kapten tidak sanggup mengendalikan kapalnya.

Awak kapal, yang panik dan ketakutan, terlempar kesana kemari.

Ada banyak air di geladak karena hujan lebat dan gelombang besar sehigga kapal pun perlahan-lahan mulai karam.

Sang Nahkoda berseru kepada awak kapal untuk segera bersiap-siap meninggalkan kapal.

Perahu pelampung satu-satunya pun diturunkan ke air dan segera jelas bahwa perahu itu tak cukup untuk memuat semua orang.

Sang Nahkoda dan beberapa awak kapal bersiap-siap terjun kelaut dan berenang.

Kemudian sang Nahkoda ingat pada 'Ali.

Ia meminta salah seorang awak kapal untuk mencarinya.

'Ali berpegangan dipintu kabinnya dan berusaha menjaga keseimbangannya.

Sang awak kapal pun berseru kepadanya,

"Cepatlah, kita harus meninggalkan kapal itu. Tenggelam!"

'Ali, yang kebingungan, dibantu naik keatas geladak.

Sang Nahkoda berteriak, “Engkau bisa berenang?”
"Tidak!" teriak ‘Ali.

Sang Nahkoda menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Sungguh sayang, sebab seluruh hidupmu terbuang sia-sia karena tidak tahu ilmu berenang."

Malam itu, sang Nahkoda dan awaknya pun diselamatkan oleh kapal lain sesudah badai reda.

'Ali sendiri juga selamat berkat bantuan dua awak kapal yang tetap membuatnya terapung di dalam air.

Sejak hari itu, 'Ali tak pernah lagi membangga-banggakan pengetahuannya yang luas tentang filsafat.

Beberapa tahun setelah kejadian itu, 'Ali memberikan hadiah kepada sang Nahkoda, yang kini menjadi sahabat karibnya.

Hadiah itu berupa lukisan kapal di laut yang sedang dihantam badai.

Ada dua bait syair tertulis dibawah lukisan itu:

"Hanya benda-benda kosong yang terapung di permukaan air."

"Kosongkan dirimu dari sifat-sifat kemanusian,

dan engkau akan , Mengapung dilautan penciptaan."

Jalaluddin Rumi.