Selasa, 31 Januari 2012

Memperoleh Hidayah Berupa Petunjuk



Assalamualaikum.. Bismillahi Rahmaani Rahiim.

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak ketulungan.

"Ummi… Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.
"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku masih dengan nada tinggi.

Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku.

Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.

"Ummi… Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi… isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah…wanita gampang sekali untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.
"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…" Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…

Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?" pinta isteriku. "Aduh, Mi… Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu…?" selaku.
"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.
"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.

Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.

Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku.

Sampai-sampai kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek…," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain.

Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*) ku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya.

Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!
"Maryam…!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini.

Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
"Abi…!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu…," ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.


Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud (**) dan ‘iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?
Kenapa baru sekarang aku menyadari Hal Itu….?
Subhanallahu..Allahu Akbar

Wassalamu'alaikum  Warahmatullahi  Wabarakatuh .

Peduli Terhadap Sekitarnya



Assalamualaikum..Bismillahi Rahmani Rahim   

           Suatu sore, Zahra sedang duduk bersama ayahnya di ruang keluarga. Keduanya sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Zahra, gadis kecil berumur 5 tahun itu sedang bermain dengan buku gambarnya. Sedang sang ayah, tampak tekun membaca majalah.

           Sesaat kemudian, Zahra mendekati ayahnya. Ia lalu bertanya, “Ayah, ini gambar apa? Belum selesai ayahnya menjawab, Zahra kembali bertanya, “Kok, hewan ini ada buntutnya? Sang Ayah, dengan sabar menjelaskan semuanya. Disisihkannya majalah di tangannya dan dipeluknya Zahra.

            Beberapa lama berselang, Ayah lalu berkata, “Baik, kalau sudah selesai, ayo teruskan saja sendiri ya, sayang. Ayah sibuk. Zahra pun kembali ke tempatnya semula.
Namun, belum lima menit usai, Zahra kembali datang dan bertanya banyak hal. Dia mengoceh tentang hewan, hingga hal-hal yang diluar khayalan. Ayah pun mulai tampak segan dengan semua pertanyaan itu. Sebab, ia ingin sekali menyelesaikan bacaannya. “Ah, kalau saja aku bisa menyibukkan anak ini dengan pekerjaan lain, ” gumam Ayah,” tentu, ia tak akan membuatku repot. Begitu pikirnya dalam hati.
Aha, Ayah pun menemukan ide. Diambilnya gambar rumah dari sebuah majalah lama. Dan diguntingnya gambar itu menjadi beberapa bagian. Ia ingin membuat puzzle!. Tentu, anak umur 5 tahun, akan sulit sekali menyusun puzzle yang bergambar rumah. Ia lalu berkata pada Zahra yang sejak tadi memperhatikannya.

             ” Zahra, sekarang Ayah punya permainan. Ayo, coba susun kembali kertas ini jadi gambar rumah. Nanti, kalau sudah selesai, baru kamu boleh kembali ke sini. (–Hmm..tenanglah aku sekarang. Aku akan bisa menyelesaikan bacaanku, dan ia pasti akan sibuk sekali dengan pekerjaan ini, begitu gumam ayah.–)
Tiba-tiba. “Aku sudah selesai!” Belum 5 menit berlalu, kini, Zahra sudah kembali dengan susunan gambar rumah itu. Ayah pun bingung, bagaimana bisa ia menyelesaikan tugas yang sulit itu? Ayah lalu bertanya, “Bagaimana caranya kamu menyusun gambar rumah ini? Pasti kamu minta tolong Bunda deh.”

               Mata bulat gadis itu berbinar, “Nggak kok. Aku membuatnya sendiri. Sebab, dibalik gambar ini, ada gambar boneka kesukaanku. Jadi, aku menyusun gambar itu saja. Ini, gambar bonekaku, aku senang sekali dengannya.
Sang Ayah pun terdiam. Ia kalah, dan harus siap kembali menerima semua ocehan gadis kecilnya ini.
Beri  Kesempatan  Untuk  Dekat Dengannya…

Wassalamu'alaikum  Warahmatullahi  Wabarakatuh .

Doa Restu Ibu



Assalamualaikum ..Bismillahir-Rahmanir-Rahim

Jamil….Bercerita tentang Kisah Rumah Tangganya
Suatu hari  Pada akhir tahun 2003, istri saya selama 11 malam tidak bisa tidur. Saya sudah berusaha membantu agar istri saya bisa tidur, dengan membelai, diusap-usap, masih susah tidur juga. Sungguh cobaan yang sangat berat. Akhirnya saya membawa istri saya ke RS Swasta yang kebetulan dekat dengan rumah saya. Sudah 3 hari diperiksa tapi dokter tidak menemukan penyakit istri saya. Kemudian saya pindahkan istri saya ke RS Azra, Bogor. Selama berada di RS Azra, istri saya badannya panas dan selalu kehausan sehingga setiap malam minum 3 galon air Aqua. Setelah dirawat 3 bulan di RS Azra, penyakit istri saya belum juga diketahui penyakitnya.

Akhirnya saya putuskan untuk pindah ke RS Swasta Lainnya di Jakarta dan langsung di rawat di ruang ICU. Satu malam berada di ruang ICU pada waktu itu senilai Rp 2,5 juta. Badan istri saya –maaf- tidak memakai sehelai pakaian pun. Dengan ditutupi kain, badan istri saya penuh dengan kabel yang disambungkan ke monitor untuk mengetahui keadaan istri saya. Selama 3 minggu penyakit istri saya belum bisa teridentifikasi, tidak diketahui penyakit apa sebenarnya.

Kemudian pada minggu ke-tiga, seorang dokter yang menangani istri saya menemui saya dan bertanya,

“Pak Jamil, kami minta izin kepada pak Jamil untuk mengganti obat istri bapak.”

“Dok, kenapa hari ini dokter minta izin kepada saya, padahal setiap hari saya memang gonta-ganti mencari obat untuk istri saya, lalu kenapa hari ini dokter minta izin ?”

“Ini beda pak Jamil. Obatnya lebih mahal dan obat ini nantinya disuntikkan ke istri bapak.”

“Berapa harganya dok?”

“Obat untuk satu kali suntik 12 juta pak.”

“Satu hari berapa kali suntik dok?”

“Sehari 3 kali suntik.”

“Berarti sehari 36 juta dok?”

“Iya pak Jamil.”

“Dok, 36 juta bagi saya itu besar sedangkan tabungan saya sekarang hampir habis untuk menyembuhkan istri saya. Tolong dok, periksa istri saya sekali lagi. Tolong temukan penyakit istri saya dok.”

“Pak Jamil, kami juga sudah berusaha namun kami belum menemukan penyakit istri bapak. Kami sudah mendatangkan perlengkapan dari  RS Umum Terkemuka  dan banyak laboratorium namun penyakit istri bapak tidak ketahuan.”

“Tolong dok…., coba dokter periksa sekali lagi. Dokter yang memeriksa dan saya akan berdoa kepada Rabb saya. Tolong  dok dicari”

“Pak Jamil, janji ya kalau setelah pemeriksaan ini kami tidak juga menemukan penyakit istri bapak, maka dengan terpaksa kami akan mengganti obatnya.” Kemudian dokter memeriksa lagi.

“Iya dok.”

Setelah itu saya pergi ke mushola untuk shalat dhuha dua raka’at. Selesai shalat dhuha, saya berdoa dengan menengadahkan tangan memohon kepada Allah, -setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasululloh,

“Ya Allah, ya Tuhanku….., gerangan maksiat apa yang aku lakukan. Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga engkau menguji aku dengan penyakit istriku yang tak kunjung sembuh. Ya Allah, aku sudah lelah. Tunjukkanlah kepadaku ya Allah, gerangan energi negatif apakah yang aku lakukan sehingga istriku sakit tak kunjung sembuh ? sembuhkanlah istriku ya Allah. Bagimu amat mudah menyembuhkan penyakit istriku semudah Engkau mengatur Milyaran planet di muka bumi ini ya Allah.”

Kemudian secara tiba-tiba ketika saya berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa yang pernah aku lakukan? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga aku diuji dengan penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya teringat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu ketika saya mengambil uang ibu sebanyak Rp15.000,-.

Dulu, ketika kelas 6 SD, SPP saya menunggak 3 bulan. Pada waktu itu SPP bulanannya adalah Rp 2.500,-. Setiap pagi wali kelas memanggil dan menanyakan saya, “Jamil, kapan membayar SPP ? “ Malu saya. Dan ketika waktu strirahat saya pulang dari sekolah, saya menemukan ada uang Rp15.000,- di bawah bantal ibu saya. Saya mengambilnya. Rp7.500,- untuk membayar SPP dan Rp7.500,- saya gunakan untuk jajan.

Saya kemudian bertanya, kenapa ketika berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya diingatkan dengan kejadian kelas 6 SD dulu ketika saya mengambil uang ibu. Padahal saya hampir tidak lagi mengingatnya ??. Maka saya berkesimpulan mungkin ini petunjuk dari Allah. Mungkin inilah yang menyebabkan istri saya sakit tak kunjung sembuh dan tabungan saya hampir habis. Setelah itu saya menelpon ibu saya,

“Assalamu’alaikum Ma…”

“Wa’alaikumus salam Mil….” Jawab ibu saya.

“Bagaimana kabarnya Ma ?”

“Ibu baik-baik saja Mil.”

“Trus, bagaimana kabarnya anak-anak Ma ?”

“Mil, mama jauh-jauh dari Lampung ke Bogor untuk menjaga anak-anakmu. Sudah kamu tidak usah memikirkan anak-anakmu, kamu cukup memikirkan istrimu saja. Bagaimana kabar istrimu Mil, bagaimana kabar Ria nak ?” –dengan suara terbata-bata dan menahan sesenggukan isak tangisnya-.

“Belum sembuh Ma.”

“Yang sabar ya Mil.”

Setelah lama berbincang sana-sini –dengan menyeka butiran air mata yang keluar-, saya bertanya, “Ma…, Mama masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ?”

“Yang mana Mil ?”

“Kejadian ketika Mama kehilangan uang Rp15.000,- yang tersimpan di bawah bantal ?”

Kemudian di balik ujung telephon yang nun jauh di sana, Mama berteriak, (ini yang membuat bulu roma saya merinding setiap kali mengingatnya)

“Mil, sampai Mama meninggal, Mama tidak akan melupakannya.” (suara mama semakin pilu dan menyayat hati),

“Gara-gara uang itu hilang, mama dicaci-maki di depan banyak orang. Gara-gara uang itu hilang mama dihina dan direndahkan di depan banyak orang. Pada waktu itu mama punya hutang sama orang kaya di kampung kita Mil. Uang itu sudah siap dan mama simpan di bawah bantal namun ketika mama pulang, uang itu sudah tidak ada. Mama memberanikan diri mendatangi orang kaya itu, dan memohon maaf karena uang yang sudah mama siapkan hilang. Mendengar alasan mama, orang itu merendahkan mama Mil. Orang itu mencaci-maki mama Mil. Orang itu menghina mama Mil, padahal di situ banyak orang. ...rasanya Mil. Mamamu direndahkan di depan banyak orang padahal bapakmu pada waktu itu guru ngaji di kampung kita Mil tetapi mama dihinakan di depan banyak orang. SAKIT.... SAKIT... SAKIT rasanya.”

Dengan suara sedu sedan setelah membayangkan dan mendengar penderitaan dan sakit hati yang dialami mama pada waktu itu, saya bertanya, “Mama tahu siapa yang mengambil uang itu ?”

“Tidak tahu Mil…Mama tidak tahu.”

Maka dengan mengakui semua kesalahan, saya menjawab dengan suara serak,

“Ma, yang mengambil uang itu saya Ma….., maka melalui telphon ini saya memohon keikhlasan Mama. Ma, tolong maafkan Jamil Ma…., Jamil berjanji nanti kalau bertemu sama Mama, Jamil akan sungkem sama mama. Maafkan saya Ma, maafkan saya….”

Kembali terdengar suara jeritan dari ujung telephon sana,
“Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim…..Ya Allah ya Tuhanku, aku maafkan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Maafkanlah dia ya Allah, ridhailah dia ya Rahman, ampunilah dia ya Allah.”

“Ma, benar mama sudah memaafkan saya ?”

“Mil, bukan kamu yang harus meminta maaf. Mama yang seharusnya minta maaf sama kamu Mil karena terlalu lama mama memendam dendam ini. Mama tidak tahu kalau yang mengambil uang itu adalah kamu Mil.”

“Ma, tolong maafkan saya Ma. Maafkan saya Ma?”

“Mil, sudah lupakan semuanya. Semua kesalahanmu telah saya maafkan, termasuk mengambil uang itu.”

“Ma, tolong iringi dengan doa untuk istri saya Ma agar cepat sembuh.”

“Ya Allah, ya Tuhanku….pada hari ini aku telah memaafkan kesalahan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Dan juga semua kesalahan-kesalahannya yang lain. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit menantu dan istri putraku ya Allah.”

Setelah itu, saya tutup telephon dengan mengucapkan terima kasih kepada mama. Dan itu selesai pada pukul 10.00 wib, dan pada pukul 11.45 wib seorang dokter mendatangi saya sembari berkata,

“Selamat pak Jamil. Penyakit istri bapak sudah ketahuan.”

“Apa dok?”

“Infeksi prankreas.”

Saya terus memeluk dokter tersebut dengan berlinang air mata kebahagiaan, “Terima kasih dokter.”

Selesai memeluk, dokter itu berkata, “Pak Jamil, kalau boleh jujur, sebenarnya pemeriksaan yang kami lakukan sama dengan sebelumnya.
Namun pada hari ini terjadi keajaiban, istri bapak terkena infeksi prankreas. Dan kami meminta izin kepada pak Jamil untuk mengoperasi cesar istri bapak terlebih dahulu mengeluarkan janin yang sudah berusia 8 bulan. Setelah itu baru kita operasi agar lebih mudah.”

Setelah selesai, dan saya pastikan istri dan anak saya selamat, saya kembali ke Bogor untuk sungkem kepada mama bersimpuh meminta maaf kepadanya, “Terima kasih Ma…., terima kasih Ma.”

Namun…., itulah hebatnya seorang ibu. Saya yang bersalah namun justru mama yang meminta maaf. “Bukan kamu yang harus meminta maaf Mil, Mama yang seharusnya minta maaf.”

Saya Ingat bahwa  ber sabda Rasulullaah shalallaahu ’alaihi wa sallam :

"Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua" (HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim)

"Ada tiga orang yang tidak ditolak doa mereka: orang yang berpuasa sampai dia berbuka, seorang penguasa yang adil, dan doa orang yang teraniaya. Doa mereka diangkat Allah ke atas awan dan dibukakan baginya pintu langit dan Allah bertitah, 'Demi keperkasaan-Ku, Aku akan memenangkanmu (menolongmu) meskipun tidak segera." (HR. Attirmidzi)

Akhirnya Saya  mengambil HIKMAH bahwa:

Bila Kita sebagai  anak ...

Janganlah sekali-kali membuat marah orang tua, karena murka mereka akan membuat murka Allah subhanau wa ta’ala. Dan bila Kita ingin selalu diridloi-Nya maka buatlah selalu orang tua Saya ridlo Untuk  Kita.

Jangan sampai Kita berlaku  zholim atau aniaya kepada orang lain, apalagi kepada kedua orang tua, karena doa orang teraniaya itu terkabul.

Bila Kita sebagai orang tua ...

Berhati-hatilah pada waktu marah kepada anak, karena kemarahan  dan ucapan ini  akan dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, dan kadang penyesalan adalah ujungnya.

Doa orang tua adalah makbul, bila kita marah kepada Anak, berdoalah untuk kebaikan anak-anak kita, maafkanlah mereka.

Wassalamu'alaikum  Warahmatullahi  Wabarakatuh .

Pemuda Yang Sholeh



Assalamualaikum….Bismillahi Rahmaani Rahiim

Kota Kufah terang oleh sinar purnama. Semilir angin  yang bertiup dari utara membawa hawa sejuk. Sebagian rumah telah menutup pintu dan jendelanya. Namun geliat hidup kota Kufah masih terasa.
Diserambi  mesjid Kufah, seorang pemuda berdiri  tegap menghadap kiblat. Kedua matanya memandang teduh  ketempat  sujud.  Bibirnya bergetar melantunkan ayat2 suci Al-Quran. Hati dan seluruh gelagak jiwanya menyatu dengan Tuhan, pencipta alam semesta. Orang-orang memanggilnya “Zahid” atau “Si Ahli Zuhud”, karena kezuhudannya meskipun ia masih muda. Dia dikenal masyarakat sebagai pemuda paling tampan dan paling mencintai mesjid Kufah pada masanya. Sebahagian waktunya dihabiskan didalam mesjid. Saat itu mesjid menjadi tempat pusat peradaban, pusat pendidikan, pusat informasi dan pusat perhatian.

Sementara itu, dipinggiran kota tampak sebuah rumah mewah bagai istana. Lampu-lampu yang menyala dari kejauhan tampak berkelip-kelip bagai bintang. Rumah itu milik saudagar kaya yang memiliki kebun korma yang luas dan hewan ternak yang tak terhitung jumlahnya.
Dalam salah satu kamarnya, tampak seorang gadis jelita sedang menari-nari riang gembira. Wajahnya yang putih susu tampak kemerahan terkena sinar yang terpancar bagai tiga lentera yang menerangi ruangan itu. Kecantikannya sungguh memesona. Gadis itu terus menari sambil mendendangkan syair2 cinta.

Diruang tengah, kedua orangtuanya menyungging senyum mendengar syair yang didendangkan oleh putrinya. Mereka berdua sepakat jika sudah saatnya putri  mereka untuk menikah, dan sang ayah berencana menjodohkan putrinya dengan anak dari teman lamanya yang tadi siang ditemuinya di Pasar, dia adalah anak Abu Yasir.
Saat di Pasar mereka sudah sepakat untuk menjodohkan putra putri mereka, Yasir dengan Afirah. Abu Yasir berharap putra satu2nya itu akan berubah setelah menikah nanti, apalagi Afirah adalah anak yang baik budi pekertinya.

Sementara ditempat lain seorang pemuda kaya raya bersama teman2nya mengadakan pesta, dengan mengundang seorang penari yang melenggokkan tubuhnya mengikuti iringan musiknya.
Kemudian seorang pemuda yang bernama Yasir menghampiri penari itu. Sang penari mengulurkan tangan dan menyambutnya. Keduanya lalu menari  bersama. Keduanya  benar2  hanyut  dalam kelenaan. Dengan gerakan mesra penari itu membisikkan sesuatu ketelinga Yasir,
“Apakah Anda punya waktu malam ini bersamaku?”
Yasir tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Keduanya terus menari dan menari. Suara gendang memecah hati. Irama seruling melengking. Aroma arak menyengat nurani. Hati dan pikiran jadi mati.

Keesokan harinya.
Usai sholat dhuha, Zahid meninggalkan mesjid menuju kepinggiran kota. Ia hendak menjenguk saudaranya yang sakit. Ia berjalan dengan hati terus berzikir membaca  ayat2 suci Al-Quran. Dia sempatkan kepasar sebentar membeli anggur dan apel buat saudaranya yang sakit.
Zahid melewati kebun korma yang luas. Saudaranya pernah bercerita bahwa pemilik kebun itu adalah saudagar kaya, Abu Afirah. Ia terus melangkah menapaki   jalan membelah kebun korma itu. Tiba2 dari kejauhan ia melihat titik hitam. Ia terus berjalan dan titik hitam itu semaikn mendekat dan membesar.
Matanya menangkap dikejauhan sana perlahan bayangan itu menjadi seorang sedang menunggang kuda. Lalu sayup2 telinganya menangkap suara, “Tolong! Tolong!”
Suara itu dating dari arah penunggang kuda yang ada jauh didepannya. Ia menghentikan langkahnya. Penunggang kuda itu semakin jelas. “Tolong!!”
Suara itu semakin jelas terdengar. Suara seorang perempuan. Dan matanya dengan jelas bisa menangkap penunggang kuda itu adalah seorang perempuan. Kuda itu berlari kencang.
“tolong! Tolong hentikan kuda ini! Ia tidak bisa dikendalikan!”

Mendengar itu Zahid tegang. Apa yang harus ia perbuat. Sementara kuda itu semakin dekat dan tinggal beberapa belas meter didepannya. Cepat2 ia menenangkan diri dan membaca shalawat. Ia berdiri tegap ditengah jalan. Tatkala kuda itu sudah sangat dekat ia mengangkat tangan kananya dan berkata keras,
“Hai kuda makhluk Allah, berhentilah dengan izin Allah!”

Bagai pasukan mendengar perintah panglimanya, kuda itu meringkik dan berhenti seketika. Perempuan yang ada dipunggungnya terpelanting jatuh. Perempuan itu mengaduh. Zahid mendekati perempuan itu dan menyapanya,
“Assalamu’alaiki.  Kau tidak apa-apa?”
Perempuan  itu  mengaduh. Mukanya  tertutup cadar  hitam. Dua matanya bening menatap Zahid. Dengan sedikit merintih ia menjawab pelan,
“Alhamdulillah, tidak apa-apa. Hanya saja tangan kananku sakit sekali. Mungkin terkilir saat jatuh.”
“Syukurlah kalau begitu.”

Dua mata bening dibalik cadar itu terus memandangi  wajah  tampan Zahid. Menyadari  hal  itu Zahid menundukan  pandangannya  ke tanah. Perempuan  itu  perlahan  bangkit. Tanpa sepengetahuan Zahid, ia membuka cadarnya. Dan tampaklah wajah cantik nan memesona,
“Tuan, saya ucapkan terima kasih. Kalau boleh tahu siapa nama Tuan, dari mana dan mau kemana Tuan?”
Zahid mengangkat mukanya. Tak ayal matanya menatap wajah putih bersih memesona. Hatinya bergetar hebat. Syaraf dan ototnya terasa dingin semua. Inilah untuk pertama kalinya ia menatap wajah gadis jelita dari jarak yang sangat dekat. Sesaat lamanya keduanya beradu pandang. Sang  gadis terpesona oleh ketampanan Zahid, sementara gemuruh hati Zahid tak kalah hebatnya. Gadis itu tersenyum dengan pipi merah merona, Zahid tersadar, ia cepat2 menundukkan kepalanya. “Innalillah. Astaghfirullah,” gemuruh hatinya.

“Namaku Zahid, aku  dari  mesjid  mau mengunjungi  saudaraku  yang  sakit.”
“Jadi, kaukah Zahid yang sering dibicarakan orang itu? Yang hidupnya Cuma didalam mesjid?”
“Tak taulah. Itu mungkin Zahid yang lain,” kata Zahid sambil membalikkan badan. Ia lalu melangkah.
“Aku mau melanjutkan perjalananku!”

Tiba2 gadis itu berlari dan berdiri dihadapan Zahid. Terang saja Zahid gelagapan. Hatinya bergetar hebat menatap aura kecantikan gadis yang ada didepannya. Seumur hidup ia belum pernah menghadapi situasi seperti ini.
“Tuan aku hanya mau bilang, namaku Afirah. Kebun ini milik ayahku. Dan rumahku ada diselatan kebun ini. Jika kau mau silakan datang kerumahku.  Ayah pasti  akan  senang  dengan kehadiranmu. Dan sebagai  ucapan  terima  kasih  aku  mau  menghadiahkan  ini.”
Gadis itu lalu mengulurkan tangannya memberi sapu tangan hijau muda.
“Tidak usah.”
“Terimalah, tidak apa2! Kalau tidak tuan terima, aku tidak akan memberi jalan!”
Terpaksa Zahid menerima sapu tangan itu. Gadis itu lalu minggir sambil menutup kembali mukanya dengan cadar. Zahid melangkahkan kedua kakinya melanjutkan perjalanan.

Saat malam datang. Afirah  termenung r dikamarnya. Matanya berkaca-kaca. Hatinya basah. Pikirannya bingung. Terlintas semua kejadian tadi pagi. Pertemuan dirinya dengan Zahid. Hatinya merasakan aliran kesejukan dan kegembiraan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hati ia berkata,
“Inikah cinta? Beginikah rasanya cinta? Terasa hangat mengaliri saraf. Juga terasa sejuk didalam hati. Ya Rabbi, tak kupungkiri aku jatuh hati pada hambamu bernama Zahid. Ya Rabbi, izinkanlah aku mencintainya.”

Sementara itu  didalam  mesjid  tampak Zahid menangis  disebelah kanan mimbar. Ia menangisi hilangnya Konsentrasi/kekhusyukan hati  dalam sholat. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Sejak bertemu Afirah ia tidak mampu mengendalikan gelora hatinya. Aura kecantikan Afirah melintas saat shalat, baca Al-Quran dan dalam apa saja yang ia kerjakan. Ia telah mencoba berulang kali menepis jauh2 aura pesona Afirah dengan melakukan shalat sekhusyuk2nya namun usaha itu sia2.

“Ilahi, kasihanilah hamba-Mu yang lemah ini. Engkau Maha Tahu atas apa yang menimpa diriku. Aku tak ingin kehilangan cinta-Mu. Namun Engkau juga tahu hatiku tak mapu mengusir pesona kecantikan makhluk yang Engkau ciptakan. Saat ini hamba sangat lemah berhadapan dengan daya tarik wajah dan suara Ilahi, berilah padaku cawan kesejukan untuk meletakkan embun2 cinta yang menetes-netes dalam dinding hatiku ini. Ilahi, tuntunlah langkahku pada garis takdir yang paling Engkau ridhai. Aku serahkan hidup dan matiku untuk-Mu.” Isak Zahid.

Pagi harinya, usai shalat dhuha Zahid berjalan kearah pinggir kota. Tujuannya jelas yaitu rumah Afirah. Hatinya mantap untuk melamarnya. Disana ia disambut dengan baik oleh kedua orang tua Afirah. Mereka  sangat s enang  dengan  kunjungan Zahid  yang sudah terkenal  ketakwaannya  diseantero penjuru kota. Afirah keluar sekejab untuk membawa minuman lalu kembali kedalam. Dari balik tirai ia mendengarkan pembicaran mereka. Zahid mengutarakan maksud kedatangannya adalah untuk melamar Afirah.
Sang ayah diam sesaat. Ia mengambil nafas panjang. Sementara Afirah menanti dengan seksama jawaban ayahnya. Keheningan mencekam sesaat lamanya. Zahid tertunduk pasrah akan jawaban yang akan diterimanya.

“Anakku Zahid, kau datang terlambat. Maafkan aku, Afirah sudah dilamar oleh Abu Yasir untuk putranya beberapa hari yang lalu, dan aku telah menerimanya.”
Zahid hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia sudah mengerti dengan baik apa yang didengarnya. Ia tidak bisa menyembunyikan irisan kepedihan hatinya. Ia mohon diri dengan mata berkaca-kaca. Sementara Afirah, lebih tragis keadaannya. Jatungnya nyaris pecah mendengarnya. Kedua kakinya seperti lumpuh seketika. Ia pun pingsan saat itu juga.

Zahid kembali ke mesjid dengan kesedihan tak terkira. Keimanan dan ketakwaan Zahid ternyata tidak mapu mengusir rasa cintanya pada Afirah. Apa yang ia dengar tadi membuat nestapa jiwanya. Ia pun jatuh sakit. Suhu tubuhnya sangat panas. Berkali-kali ia pingsan. Ketika keadaannya kritis seorang jamaah membawa dan merawatnya dirumahnya. Ia sering mengigau. Dari bibirnya terucap kalimat tasbih, tahlil, istighfar dan…. Afirah.
Kabar tentang derita yang dialami Zahid ini tersebar keseantero kota Kufah. Angin   meniupkan kabar ini ketelinga Afirah.  Rasa cinta Afirah yang tak kalah besarnya membuatnya menulis sebuah surat pendek,

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
“Aku telah mendengar betapa dalam rasa cintamu padaku. Rasa cinta itu yang membuatmu sakit dan menderita saat ini. Aku tahu kau selalu menyebut diriku dalam mimpi dan sadarmu. Tak bias kuingkari, aku mengalami hal sama. Kaulah cintaku yang pertama. Dan kuingin kaulah pendamping hidupku selama-lamanya.”
“Zahid,Kalau kau mau. Aku tawarkan dua hal padamu untuk mengobati rasa haus kita berdua. Pertama, aku akan dating ketempatmu dan kita memadu cinta. Atau, kau datanglah kekamarku, akan kutunjukkan jalan dan waktunya”.
Wassalam,
 Afirah

Surat itu ia titipkan pada pembantu setianya yang bisa dipercayanya. Ia berpesan agar surat itu diterima sendiri oleh Zahid.
Hari itu juga Zahid menerimanya. Dengan hati berbunga2 Zahid menerima surat itu dan membacanya. Setelah tahu isi surat itu tubuhnya bergetar hebat. Ia menarik nafas panjang dan beristighfar sebanyak2nya. Dengan berlinang air mata ia menulis balasan untuk Afirah:

Kepada Afirah,
Salamullahi’alaiki,
Benar aku sangat mencintaimu. Namun sakit dan deritaku ini tidaklah semata-mata karena rasa cintaku padamu. Sakitku ini karena aku menginginkan cinta suci yang mendatangkan pahala dan diridhai Allah Azza Wajalla. Inilah yang kudamba. Dan aku ingin mendamba yang sama. Bukan cinta yang menyeret kepdaa kenistaan dosa dan murka-Nya.
Afirah,
Kedua tawaranmu itu tidak dapat kuterima. Aku ingin mengobati kehausan jiwaku ini dengan secangkir air cinta dari surga. Bukan air timah dari neraka, “Inni akhaafu in ‘ashaitu Rabbi adzaaba yaumin ‘adhimi!” (sesungguhnya aku takut akan siksa hari besar jika aku durhaka pada Rabb-ku. Az Zumar : 13).
Afirah,
Jika kita terus bertakwa. Allah akan memberikan jalan keluar. Tak ada yang bias aku lakukan saat ini kecuali menangis pada-Nya. Tidak mudah meraih cinta berbuah pahala. Namun aku sangat yakin dengan firmannya:
“Wanita2 yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita-wanita yang tidak baik pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita yang baik pula. Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (yaitu surga),”
Karena aku menginginkan bidadari yang suci dan baik maka aku akan berusaha kesucian dan kebaikan, selanjutnya Allah lah yang menentukan.
Afirah,
Bersama surat ini aku sertakan sorbanku, semoga bisa jadi pelipur lara dan rindumu. Hanya kepada Allah kita serahkan hidup dan mati kita.
Wassalam
Zahid

Begitu membaca jawaban Zahid itu Afirah menangis, ia menangis bukan karena kecewa tapi menangis karena menemukan sesuatu yang berharga, yaitu Hidayah. Pertemuan dan percintaannya dengan seorang pemuda saleh bernama Zahid ini telah mengubah semua jalan hidupnya.
Sejak saat itu ia menanggalkan semua gaya hidupnya yang glamour. Ia berpaling dari dunia dan menghadapkan wajahnya sepenuhnya untuk akhirat. Sorban putih pemberian Zahid ia jadikan sajadah, tempat ia bersujud, dan menangis ditengah malam memohon ampunan dan rahmat Allah Swt. Siang ia puasa, malam ia habiskan dengan bermunajat pada Tuhannya.
Diatas sajadah putih itu ia menemukan cinta yang lebih agung dan lebih indah, yaitu cinta kepada Allah Swt. Hal yang sama juga dilakukan Zahid dimesjid Kufah. Keduanya benar2 larut dalam samudra cinta Allah Swt. Allah Maha Rahman dan Rahim.  Beberapa bulan kemudian Zahid menerima sepucuk surat dari Afirah:

Kepada Zahid,
Assalamu’alaikum,
Segala puji bagi Allah. Dia lah Tuhan yang memberi jalan keluar setiap hamba-Nya yang bertakwa. Hari ini ayahku memutuskan tali pertunanganku dengan Yasir. Beliau telah terbuka hatinya. Cepatlah kau datang melamarku. Dan kita laksanakan pernikahan mengikuti sunnah Rasulullah Saw. Secepatnya.
Wassalam,
Afirah

Seketika itu Zahid sujud syukur di mihrab mesjid Kufah. Bunga2 cinta bermekaran dalam hatinya. Tiada henti bibirnya mengucapkan hamdalah.

Wa alaikum salaam Warahmatullah Wabarokatuh..