AssalamualaikumWarahmatullahi
Wabarakatuuh
Bismillahirrahmanirrahiim
“Ara!!! Cepetan entar telat pergi sekolah
lho…” Pekik Mamaku sayang dari luar pintu
kamar mandi.
“Iya,
Ma…” Jawabku dan hampir saja menelan
sikat gigi yang sedang kupakai. “Uh, si Mama…” Omelku sambil melanjutkan
sikat gigiku.
Pagi
itu adalah pagi yang sangat gempar. Mamaku, Papaku dan adikku, kubuat repot
semua karena hari itu adalah hari pertamaku untuk memakai seragam putih
abu-abu.
“Papa!!!
Kaus kaki polkadotku kemana…”
Jeritku dari kamar.
“Tika!!!
Jepitan rambutku yang kamu pakai kemana???”
Jeritku lagi.
“Mama…!!!
Sarapanku mana, nih? Duh, sudah telat lagi…”
Kataku sambil manyun duduk di meja makan.
Jam
6.45 AM… Aku pun berjalan meninggalkan rumah dan kemudian memasuki sebuah bajaj
dan melambai-lambaikan tanganku dari dalam bajaj pada keluargaku yang berjejer
rapih di taman depan rumahku.
“SMA-
Kasih Ibu-, Pak…” Kataku sama si supir bajaj.
“Oke,
non. Eh, masuk SMA itu? Wah, keren…” Puji
si tukang bajaj.
“Iya,
dong… Jawabku bangga…”
Tarraaa!!!
Sekarang aku SMA dan aku sangat senang sekali. Memakai putih abu-abu menjadi
kebanggaan sendiri bagiku. Kutelusuri sekolah baruku yang mewah yang ternyata
bisa kutembus karena memang otakku encer. Hei! Ini sekolah favorite banget,
tauuu… Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah artikel yang terpampang di mading
berjudul, “62 % Pelaku Aborsi adalah Pelajar”
“Edannn…” Pekikku sambil menutupi mulutku yang menganga
karena terkejut. Huft, baru masuk sekolah langsung disuguhi bacaan seperti itu.
Aku segera berlalu lalu mencari kelas baruku yang mana.
Tapi…
Bruuukkk!!!
Aku menabrak tubuh seseorang dan aku pun terjatuh ke lantai. Aku meringis
kesakitan dan mengangkat wajahku ingin tahu siapa yang menubruk aku. Tapi belum
sempat aku memaki-makinya, aku terhenti saat melihat wajah nan tampan sedang
tersenyum menatap aku.
“Maaf…
Kamu ga apa-apa?” Tanyanya lembut.
“Eh,
enggak… enggak…” Jawabku bohong. Tangannya yang
kekar menolong aku berdiri dengan lembut.
“Nama
kamu siapa?” Tanyanya.
“Tiara…”
Jawabku. “Panggilannya Ara…”
“Ara…
Oh, aku Donie…” Dia menjabat tanganku erat. “Maaf,
yah.”
Dan
dunia makin begitu indah begitu aku tahu dia menjadi teman satu kelasku. Walau
tidak sebangku namun aku duduk di bangku yang setidaknya bisa memandang sudut
indahnya dengan jelas. Oh…
Hei,
kalian tahu cinta pertama itu? Maksudku, aku belum pernah merasakannya. Baik
itu saat aku masih memakai rok biru tua yang menyebalkan. Aku belum pernah
pacaran dan itu sangat menyiksa, secara aku ini anak yang selalu ingin tahu,
lebih dan lebih.
Sudah
empat bulan lamanya aku memakai seragam putih abu-abu. Dan akhirnya ada juga
yang menyatakan cintanya padaku. Oh, my God! Rasanya seperti cokelat. Manis
sekali.
“Ara…
Aku suka sama kamu…”
Dia
bilang begitu, dan kau tahu? Yang omong seperti itu adalah Donie. Cowok keren
yang tubrukan sama aku di hari pertamaku pergi ke sekolah. Dan akhirnya kami
berpacaran. Ahay! Baru kali aku merasakan dibonceng sama orang yang kita
cintai. Biasanya juga sama bajaj doang. Hiks… Menyedihkan.
“Pokoknya
pacaran harus jaga diri…” Omel Mama
suatu ketika.
“Maksudnya,
Ma? Duduk aja gitu?” Tanyaku bodoh.
“Engga…
Jaga diri dari kelakuan maksiat.”
“What!!!”
Aku terkejut mendengar kata Mama
waktu itu.
Inilah
maka kusebut bahwa cinta pertama itu adalah Tantangan. Jika kamu hebat maka
kamu akan menang dari sesuatu yang terlalu menantang itu. Tetapi ternyata aku
kalah. Karena aku adalah orang yang selalu ingin tahu.
“Kalian
kompak banget. Udah jadi kayak suami istri aja.” Sindir sahabatku Mira.
“Biarin…” Jawabku dengan penuh emosi.
Cara
berpacaranku dengan Donnie memang terlalu intim. Sampai-sampai satu kelas
mengejek kami, suami-istri. Kemana-mana selalu sama, pergi ke kantin, pergi ke
pesta ulangtahun teman, pergi ke toko buku dan bla bla bla.
Sampai
suatu ketika ada hal yang tak bisa aku hindari lagii. Habisnya, aku dipaksa
tapi aku juga mau…karena ingin tahu..
“Buktikan
cinta kamu sama aku! Kalau kamu cinta sama aku maka kamunya itu harusnya rela
mengorbankan jiwa raga kamu ke aku…” Katanya
menantangku.
“Apa?”
“Apa
kamu cinta aku?”
“Iya…
Iya…”
Akhirnya
terjadilah sesuatu yang belum pantas dilakukan oleh Siswa yang masih berseragam putih abu-abu seperti kami berdua.
“Donn… Aku hamil…” Tangisku suatu ketika.
“Apa?” Donni terkejut dan itu aku katakan saat kami berada di
kamar kostnya sedang melakukan hubungan intim. Dia berdiri lalu memakai lagi
seragamnya, sementara aku menangis.
“Gugurin
saja…” Kata Donnie.
“Aku
takut…” Jawabku pelan.
“Jadi
mau bagaimana lagi? Masa biarin lahir gitu aja? Aku masih sekolah, kamu juga.
Masa depan kita hancur…” Katanya
penuh emosi.
Lama
aku berpikir dan segalanya itu aku masih ragu. Aborsi??? Itu menyakitkan bukan?
Akhirnya entah dari mana jalannya Donnie mengantar aku pada seorang bidan yang
membuka praktek illegal.
“Rasanya
gimana, Bu?” Tanyaku pelan.
“Sakit
sekali…”
“Efeknya…”
“Banyak,
nak. Kamu harus berfikir ulang melakukannya. Nanti kamu menyesal. Pendarahan,
infeksi bahkan kanker payudara. Apa kamu mau? Ibu memang bisa saja melakukan
itu sama kamu. Tapi ibu harap kamu fikirkan matang-matang.”
Ngilu
sekali saat membayangkan aborsi itu bagaimana. Namun apa mau dikata ini harus
kulakukan. Aku tidak boleh membiarkan orangtuaku menangisi masa depanku yang
tidak cemerlang.
“Biayanya?”
“Tujuh
juta…” Jawab Bu bidan singkat.
“APA???” Aku dan Donnie membelalakkan mata dan mana mungkinlah kami
punya uang sebanyak itu. Ternyata biaya aborsi mahal sekali. Hiks…
Kami
pun pulang dari tempat praktek illegal itu dengan kegalauan di hati. Jika didiamkan
makin lama tentu akan menjadi bumerang bagi kami berdua. Semangat belajar kami
turun drastis dan bahkan kami sering bolos sekolah hanya karena sibuk
memikirkan bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk aborsi.
“Ra,
aku udah jual handphone blackberry-ku…”
Kata Donnie sambil menunduk dan menunjukkan uang hasil penjualan blackberrynya.
“Maafin
aku yah Mas…” Kataku.
“Ga
apa-apa… Tapi uang ini belum cukup.”
“Ya,
udah… Aku jual netbook-ku, Mas… Nanti
kalo ditanya Papa aku bilang aja hilang.”
Ternyata
uang hasil penjualan keduanya tidak cukup. Kau tahu jalan terakhirnya apa?
Akhirnya aku pergi untuk mencari oom-oom untuk meniduri aku. Pedih rasanya,
namun ini harus kulakukan kalau tidak mungkin aku akan melahirkana anak yang
nantinya akan menghancurkan masa depanku.
“Mas…
Hiks… Aku tidur sama Oom-oom… Aku ga rela
sebenarnya, tapi… Hiks…”
“Mau
gimana lagi…” Donnie menunduk.
Akhirnya
kami kembali lagi ke tempat praktek aborsi illegal itu dan menggugurkan si bayi
mungil. Aku menyesal sungguh menyesal. Anak bayi yang ingin hidup aku bunuh
seketika. Tuhan, maafkan aku… Tangisku dalam malam yang beku.
Cinta
pertama bodoh. Setelah aborsi, aku dan Donnie masih melakukannya walau sekarang
kami tahu cara mencegahnya. Stok pil KB selalu ada di dalam tasku, stok kondom juga
selalu ada di dalam tas Donnie. Aku sangat kotor. Dan aku bukan perempuan yang
baik.
Jelang
tamat SMA, Donnie menghilang begitu saja. SMS dan Teleponku tak digubris, aku
menangis sejadinya. Selalu kutanyakan pada teman-temanku dimana keberadaannya
tetapi tak ada yang mengetahui. Sama sekali. Bahkan pertemanan di akun-akun
jejaring sosialnya, aku dihapus. Dia pergi begitu saja, cinta pertamaku menguap
begitu saja. Setelah dia bosan menyedot kemanisan yang ada padaku.. (AN)
Wassalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar